Jakarta (ANTARA News) - Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (PP IPHI) sudah menyiapkan naskah atau draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Haji dan dalam medio Januari 2012 ini diharapkan sudah diserahkan ke DPR sehingga para wakil rakyat segera membahasnya sebagai upaya memperbaiki penyelenggaraan ibadah haji.

Hal tersebut terungkap pada dialog Ketua Umum IPHI Kurdi Mustofa dengan Dirut Perum LKBN ANTARA Dr H Ahmad Mukhlis Yusuf , Sekretaris IPHI, H. Anshori di Jakarta, Selasa petang.

Pada dialog tersebut terungkap pula bahwa Komisi VIII kini sedang mencari masukan dari berbagai pihak dengan membentuk Panitia Kerja (Panja) guna memperbaiki UU No.13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Menurut Kurdi, kalangan DPR menyambut positif wacana bahwa UU No.13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Haji harus diperbaiki. Namun bagi IPHI, undang-undang tersebut harus diganti secara total karena tak dapat mengakomodasi kebutuhan umat Islam dalam menunaikan ibadah haji.


Dimatangkan

Komisi VIII DPR telah membentuk Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Wakil Ketua Komisi VIII Chairun Nisa mengatakan, pembetukan panja untuk mematangkan rencana dan draf usulan revisi.

Komisi VIII sebelumnya pada akhir 2011 sempat menggelar rapat dengar pendapat dan rapat dengar pendapat umum guna mencari masukan dari berbagai kalangan. Diharapkan pematangan naskah atau draf segera dapat dilakukan guna diserahkan ke badan legislasi untuk harmonisasi.

Poin utama dari draf RUU tersebut adalah pemisahan regulator dan operator. Selain itu, juga pembentukan badan khusus haji serta sistem tata kelola keuangan haji.

Ketua Komisi VIII DPR Abdul Kadir Karding pun pernah mengatakan, revisi UU No.13 tahun 2008 perlu dilakukan sebagai respons terus munculnya persoalan tahunan dalam penyelenggaraan haji.

Hingga kini, persoalan itu belum terselesaikan. Pada masa sidang mendatang yang dimulai pada Januari 2012, pembahasan revisi diintensifkan, ia menjelaskan.

Jika dilihat dari historisnya, UU No.13/2008 merupakan perbaikan dari UU No.17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Kementerian Agama menilai bahwa UU tersebut sudah memadai bagi kepentingan umat Islam untuk menulaikan ibadah haji. Mantan Sekretaris Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh, Kementerian Agama M.Abdul Ghofur Djawahir menyatakan, perubahaan undang-undang mengenai penyelenggaraan ibadah Haji adalah untuk meningkatkan pemberian pelayanan yang baik kepada para jamaah haji.

Perbedaan yang mendasar antara UU No. 17/1999 dengan UU No. 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji antara lain adanya pembedaan yang jelas antara regulator (pemerintah) dengan operator (masyarakat); transparansi dan akutanbilitas pengelolaan ibadah haji serta hak dan kewajiban para jama`ah haji.

Penyelenggaraan haji tetap dikelola oleh pemerintah namun terdapat Komisi Pengawas Haji yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Pemerintah dalam mengelola jamaah haji harus memprioritaskan pada pembinaan, pelayanan dan perlindungan sesuai dengan hak dan kewajiban jamaah haji.


Persoalan serupa

Bagi IPHI, menurut Kurdi Mustofa, UU No.13/2008 belum memenuhi harapan umat Muslim. Karena itu pasal-pasalnya harus diganti, antara harapan dan kenyataan masih jauh. Setiap tahun persoalan yang mencuat dalam penyelenggaraan haji serupa. Jika tak menyangkut pemondokan, tentu muncul persoalan katering dan transportasi.

Jika ke depan penyelenggaraan haji berbentuk badan khusus, yang tetap dikelola pemerintah, maka Kementerian Agama (Kemenag) akan dapat lebih fokus melayani umat, khususnya menyangkut kerukunan antarumat, pendidikan Islam dan mengoptimalkan para mubaliq dan penghulu sebagai garda terdepan pembinaan umat di tengah masyarkat.

Ia mengatakan, perbaikan undang-undang haji belum sepenuhnya menyentuh kepada perbaikan umat Islam. Haji seharusnya dapat dikelola dengan baik, baik dari sudut kelembagaan ekonomi dan pemberdayaan umat.

Selama ini, ia melihat penanganan haji masih dilakukan dengan model ad hoc , membentuk kepanitiaan secara sementara. Setiap tahun membentuk panitia yang dikenal Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) dan jika usai bertugas lantas dibubarkan. Tahun berikutnya bentuk panitia ad hoc dan terus berlangsung dari tahun ke tahun.

Hal ini terus membawa dampak tak menguntungkan kepada pelayanan publik, personilnya berganti-ganti karena tak ada wadah yang permanen. Seharusnya ada lembaga atau badan khusus mengelola haji sehingga jelas tugas dan fungsinya dari tahun ke tahun, kata Kurdi.

Jadi, jika begini terus tak heran persoalan yang mencuat ke permukaan selalu sama. "Persoalannya ada di hilir. Jika tak pondokan, transportasi atau katering," kata ia menegaskan.

Sekretaris IPHI, H. Anshori menambahkan bahwa UU haji ke depan diharapkan juga dapat mengakomodasi pendidikan umat. Sebab, dalam ritual haji terkandung nilai-nilai pembelajaran melalui manasik haji dan harus memberikan manfaat bagi umat Islam itu sendiri.

Karena itu ia sependapat dengan Ketua Umum IPHI bahwa haji harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraa n umat Islam ke depan.

Indonesia, seperti disebutkan Kurdi Mustofa, harus belajar dari Malaysia dalam mengelola haji. Melalui Tabung Haji, kini negara jiran tersebut mampu mengangkat perekonomian melalui pembiayaan Tabung Haji. Karena itu, undang-undang tentang penyelenggaraan ibadah haji semestinya dapat memberdayakan seluruh potensi untuk kesejahteran umat.
(T.E001/A011)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2012