Ramallah (ANTARA News) - Pemimpin Palestina Mahmud Abbas mengatakan kepada parlemen yang didominasi Hamas bahwa dirinya akan terus memelihara kesepakatan damai Timur Tengah dan mendesak Israel dan masyarakat internasional tidak boleh menghukum rakyat Palestina yang mengambil pilihan demokratis. Dalam pidatonya di parlemen Palestina di Ramallah, Sabtu, Abbas mengatakan bahwa tidak mungkin ada penyelesaian konflik lewat cara militer dengan Israel, negara yang haknya ditolak oleh Hamas. Ia juga mengatakan kepada Hamas, yang akan memimpin pemerintahan baru dalam beberapa mendatang, mereka harus menghormati kesepakatan internasional yang ditandatangani dengan Israel, negara Zionis itu. Kepemimpinan Hamas dalam pemerintahan baru Palestina akan memicu serentetan sanksi Israel, termasuk larangan perjalanan ke Israel. Kemenangan Hamas juga menimbulkan ancaman dari Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (EU) untuk menghentikan dana bantuan setelah kelompok Islam itu membentuk pemerintahan baru. Washington dan EU akan meneruskan dana tersebut, jika Hamas menghentikan aksi kekerasannya dan mengakui keberadaan Israel dan mendukung kesepakatan yang ditandatangani dengan Israel. Namun, Abbas mengatakan, baik Israel maupun masyarakat internasional harus menghormati hasil pemilihan 25 Januari 2006 yang pemenangnya adalah Partai Hamas. "Rakyat Palestina tidak boleh dihukum, hanya karena mereka mengambil pilihan yang demokratis. Para pemimpin Palestina, dan saya pribadi menolak ancaman itu dan mengimbau masyarakat internasional untuk menghentikan langkah tersebut," ujar pengganti Yasser Arafat, pemimpin legendaris Palestina yang telah tiada tahun lalu, itu. Namun, Abbas juga menekankan bahwa ia akan tetap mendukung kesepakatan damai dengan Israel tanpa melihat dukungan besar rakyat Palestina kepada Hamas yang dianggap sebagai kelompok "garis keras" oleh Barat. "Kepresidenan dan pemerintahan Otoritas Palestina tetap berpegang pada perundingan sebagai pilihan strategis yang nyata," demikian Abbas. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006