Pamekasan (ANTARA News) - Kalangan profesi advokat di Pamekasan, Madura, meminta aparat kepolisian dari jajaran Polres setempat bertindak tegas terkait praktik penyiksaan terhadap sapi dalam pelaksanaan karapan di wilayah itu.

"Sebab penyiksaan hewan tidak hanya melanggar etika moral, akan tetapi juga melanggar hukum positif, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)," kata juru bicara Advokat "Law Firm and Legal Consultant" H Agus Kasianto, SH, MH di Pamekasan, Sabtu.

Menurut Agus Kasianto, klausul yang mengatur tentang larangan penyiksaan hewan sebagaimana praktik dalam pelaksanaan karapan sapi adalah pasal 302 KUHP ayat 1 dan ayat 2.

"Dalam Pasal 302 ayat 1 itu disebutkan, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan karena melakukan penganiyaan ringan terhadap hewan," ujarnya.

Tidak hanya itu saja, ia mengemukakan, pada ayat 2 di pasal yang sama juga disebutkan bahwa ancaman hukumannya bisa lebih berat lagi, yakni hingga 9 bulan, apabila penyiksaan yang dilakukan mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat menderita luka berat lainnya atau mati.

"Gerakan penegakan hukum saya kira harus dilakukan. Sebab jika praktik penyiksaan tetap dilakukan dan tidak ada tindakan hukum sama sekali maka itu sama halnya dengan melegalkan penyiksaan hewan," ujar Agus Kasianto.

Ia mengatakan, seruan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan para organisasi massa Islam agar praktik penyiksaan dalam pelaksanaan festival karapan sapi di Madura dihapus karena tidak manusiawi dan bertentangan dengan nilai-nilai agama, sebenarnya juga senafas dengan hukum positif yang berlaku di negeri ini.

Bahkan, dia menilai, dalam Undang-Undang Nomor:18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, ancaman hukuman bagi pelaku penyiksaan hewan lebih berat lagi, yakni antara hukuman penjara 6 bulan hingga 5 tahun.

Agus menjelaskan, dalam pasal 66 ayat 2 point C dan E di undang-undang itu disebutkan, bahwa pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit, rasa tertekan.

"Saya kira kalau dalam karapan sapi dengan membancok pantat sapi, mengeles matanya dengan balsem agar larinya kencang, juga masuk dalam poin ini disamping pasal 302 KUHP itu tadi," kata Agus Kasianto, menjelaskan.

Demikian juga pada point E di pasal yang sama juga menyebutkan, bahwa penggunaan dan pemanfaatan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya, sehingga hewan bebas dari penganiayaan dan penyalahgunaan.

"Pada poin ini menyebutkan bahwa perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan," tuturnya.

Agus memandang pendekatan supremasi hukum perlu dilakukan untuk menghapus praktik penyiksaan karapan sapi sebagaimana yang biasa terjadi di Madura ini, selain dengan melakukan pendekatan kultural kepada semua pemilik sapi karapan.

"Karapan sapi ini adalah budaya leluhur masyarakat Madura yang sangat bagus dan perlu dipelihara. Tapi kini menjadi ternodai, ketika ada praktik penyiksaan seperti yang membacokkan paku ke pantat sapi agar larinya kencang," ucap.

Agus Kasianto bersama kalangan profesi advokat lainnya di Pamekasan juga berharap, agar karapan sapi hendaknya dikembalikan pada bentuk semula, yakni karapan sapi tanpa penyiksaan.

Seruan untuk menghapus praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi ini bukan hanya dari kelompok profesi advokat.

Sebelumnya, kalangan aktivis mahasiswa, MUI dan berbagai Ormas Islam juga meminta agar panitia pelaksana karapan sapi melarang praktik kekerasan dalam ajang festival budaya yang menjadi kebanggaan masyarakat Madura ini.

Kepala Bakorwil IV Pamekasan selaku panitia pengarah dalam pelaksanaan festival karapan sapi, Eddy Susanto, menyatakan bahwa sulit dilakukan, karena para pemilik sapi karapan menganggap itu sudah menjadi kebiasaan sejak dulu agar larinya lebih kencang.

"Butuh waktu lama untuk menghapus praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi ini," kata Eddy Susanto.
(T.KR-ZIZ/C004)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011