Masyarakat kelas atas sudah jarang membeli produk mewah di mal. Mereka, para pelanggan tetap, berbelanja melalui telepon, jadi tidak lagi belanja di mal,”
 Jakarta (ANTARA News) - Ibukota negeri ini identik dengan gedung pencakar langit dan kemacetan yang kian menggila. Meskipun demikian, Jakarta tetap memiliki berbagai pesona yang tidak dimiliki kota lain. Salah satu pesona itu adalah mal.

Mal terus dibangun di lima wilayah Jakarta sehingga permasalahan baru muncul, salah satunya, mal menjadi pemicu kemacetan lalu lintas.

Danti (28) karyawati swasta, saat pulang kantor harus melewati pusat perbelanjaan ia mulai merasa kesal. “Pulang kantor inginnya cepat sampai di rumah, tapi yang ada malah tertahan macet panjang yang terpusat di depan sebuah mal besar. Kan bikin sebel,” ujarnya kepada Antaranews.com.
     
Permasalahan perkotaan tersebut  membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana untuk menghentikan sementara penerbitan izin pembangunan pusat perbelanjaan hingga 2012. Moratorium itu berlaku untuk pusat yang luasnya lebih dari 5.000 meter.

“Kebijakan ini diberlakukan karena sudah terlalu banyak pusat perbelanjaan di Jakarta, terutama di Jakarta Selatan,” ujar  Kepala Bidang Perencanaan Ruang Kota DKI Jakarta, Izhar Chaidir.

Menurut data pemerintah DKI, ada 207 mal di ibukota dan sepertiganya terdapat di Jakarta Selatan.

Dia mengemukakan, pemerintah DKI juga akan melakukan evaluasi kembali terhadap pusat perbelanjaan yang ada. Evaluasi itu meliputi intensitas, penyebaran, serta dampak terhadap transportasi.
 
Izhar mengatakan bahwa pemerintah DKI mengharapkan di area Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat tidak lagi berdiri mal baru. "Lebih baik penyebarannya di Jakarta Barat, Jakarta Timur dan Jakarta Utara,” katanya.

perbaikan tata ruang
Di tempat terpisah, pengamat tata kota dan dosen Planologi Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, mendukung kebijakan moratorium pembangunan mal. Dia mengemukakan Jakarta selama ini menjadi "produsen yang sangat hebat" untuk mal. Pembangunan mal menurut Yayat sudah saatnya dikendalikan agar tidak mengacaukan tata kota Jakarta.

“Ibaratnya, ibukota Jakarta itu lebih hebat daripada ibu mengandung. Seorang ibu mengandung dan
melahirkan hanya sekali dalam setahun. Tapi coba lihat ibukota. Dalam setahun ibukota dapat melahirkan tiga sampai empat mal," katanya.

Yayat juga sepakat dengan pemerintah DKI yang mengimbau agar tidak ada lagi pembangunan mal di Jakarta Selatan karena wilayah itu sudah terlalu banyak pusat perbelanjaan.

Menurut dia, pengembangan pusat perbelanjaan seharusnya diarahkan pada sentra pusat bisnis baru di area Jakarta.

"Area Jakarta Barat dan Jakarta Timur masih memiliki banyak lahan yang dapat digunakan, malah seharusnya memang dibangun. Selama ini kan pusat konsentrasi pembangunan hanya terfokus pada area selatan dan pusat,” ujar Yayat.

Mengenai banyaknya mal di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan, Yayat mengemukakan hal itu karena konsetrasi ekonomi lebih banyak bertumbuh di dua kotamadya administratif itu. Tingkat kemapanan ekonomi warga di dua wilayah itu lebih bagus.

Soal kemacetan akibat berdirinya pusat perbelanjaan, menurut Yayat hal itu disebabkan pembangunan yang tidak terkonsentrasi pada kawasan yang diperuntukan untuk pusat perbelanjaan.

“Lihat Singapura, mal dan pusat perbelanjaan terkonsentrasi di Orchard,” ujar Yayat yang menilai penataan ruang di DKI tidak dijalankan dengan baik serta lemah pengendalian.

masyarakat jenuh
Pengamat ekonomi Agus Pambadio juga sepakat bahwa mal sudah terlalu banyak di Jakarta. Bukti hal tersebut menurut Agus adalah banyak mal yang tidak beroperasi dengan optimal dan kosong.

Di sisi lain, dia melihat fenomena bahwa masyarakat mulai jenuh dan tidak lagi "serajin" dulu untuk mengunjungi mal.

“Siapa yang mau keluar jalan-jalan saat jalanan macet, yang ada kan malah rugi,” kata Agus saat dihubungi lewat telepon.

Dia juga mengatakan sebagian besar warga Jakarta mengunjungi  mal tidak untuk berbelanja, melainkan untuk makan atau sekadar jalan-jalan.

Menurut Agus, moratorium pemberian seizin pembangunan pusat perbelanjaan itu tidak akan banyak berdampak pada perekonomian Jakarta.  Setiap pendirian mal di Jakarta menurut dia malah akan menambah kemacetan yang berdampak pada ekonomi.

“Masyarakat kelas atas sudah jarang membeli produk mewah di mal. Mereka, para pelanggan tetap, berbelanja melalui telepon, jadi tidak lagi belanja di mal,” kata Agus.

Hal yang dikemukakan Agus tampaknya memang yang dirasakan warga Jakarta. Prio (22) seorang mahasiswa mengaku malas untuk pergi ke mal.

“Saya tidak terlalu hobi pergi ke mal kalau tidak jelas tujuannya. Justru saya selalu kena macet gara-gara mal," kata Prio yang kampusnya berdekatan dengan sebuah mal.  Pesona ibukota yaitu mal kini justru dalam sorotan warganya yang lelah dengan kemacetan lalu lintas.
(SDP-02)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011