Jakarta (ANTARA News) - Menteri Agama H Suryadharma Ali mengingatkan ada pihak yang ingin membuat Indonesia tidak aman dengan membuat konflik antarumat atau disharmoni, mengingat masalah agama tergolong sensitif dan mudah menyulut konflik bernuansa SARA.

"Ada pihak yang ingin Indonesia disharmoni, ada semacam dalang, karena umat beragama dan tokoh agama sendiri tidak ada yang menghendaki," katanya setelah menerima kunjungan delegasi Parlemen Jerman di kantor Kementerian Agama RI di Jakarta Pusat, Kamis.

Delegasi yang dipimpin Wakil Ketua Parlemen Jerman Wolfgang Thierse itu sempat mempertanyakan masalah kerukunan antarumat beragama di Indonesia.

Menag mengakui Indonesia sebagai negara yang majemuk tidak lepas dari konflik, namun ia menganalogkan bangsa ini sebagai sebuah keluarga besar.

"Jika dalam keluarga kita yang kecil bisa terjadi pertengkaran, antara suami istri, kakak dengan adik. Pertengkaran-pertengkaran kecil itu biasa," tutur Suryadharma Ali.

Ia menyatakan, konflik di Indonesia bukan dikehendaki oleh tokoh agama dan bukan pula oleh umat beragama.

"Saya tidak yakin komunitas Islam memusuhi Kristen dan begitu pula sebaliknya," ucap Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.

Bahkan, korban bom di gereja umumnya ditolong oleh tetangganya yang beragama Islam, dan sebaliknya korban bom di masjid juga umumnya ditolong oleh tetangganya yang beragama Kristen, sehingga tidak ada konflik antarumat beragama.

Dalam kesempatan itu, Menag juga memaparkan masalah kebebasan karena ada sementara pihak yang menyebut Indonesia membatasi kebebasan.

Menurut dia, di dunia ini tidak ada kebebasan yang mutlak atau absolut, namun kebebasan yang dibatasi oleh peraturan.

"Jika di negara ini semua diatur oleh undang-undang, maka pada agama juga ada aturan. Jadi, kebebasan harus berdasar pada aturan hukum," tandasnya.

Bahkan, kata SDA sapaan akrab Suryadharma Ali, hal itu juga termasuk kebebasan dalam menentukan ajaran agama, kendati ada kebebasan, namun harus terukur dan jelas.

"Seperti ajaran Islam, siapa nabi maupun kitab sucinya, semuanya jelas. Apakah kebebasan dalam agama boleh mengubah kitab suci agama lian, boleh menghina ajaran lain? Artinya, ada pembatasan kebebasan," katanya dalam nada tanya.

Ia juga mencontohkan kasus karikatur Nabi Muhammad SAW di Denmark pada beberapa waktu lalu. Di Eropa, karikatur sebagai bentuk ekspresi, tapi di Indonesia yang mayoritas umat Islam, maka hal itu sebagai bentuk penghinaan terhadap tokoh yang menjadi panutan.

Kepada delegasi Parlemen Jerman, Menag juga menjelaskan bahwa Islam masuk di Indonesia dengan damai dan tidak dengan pedang, apalagi bom.

"Kedatangan Islam tidak menghilangkan budaya yang diterapkan masyarakat waktu itu, namun kemudian budaya yang ada diagamakan (diberi nilai-nilai agama)," katanya.

Turut mendampingi Menag, Irjen Kemenag M. Suparta, Dirjen Pendidikan Islam Mohammad Ali, serta Dirjen Bimas Khatolik Antonius, Kabalitbang dan Diklat Abdul Djamil.

Selain itu, Sekretaris Ditjen Bimas Islam Abdul Karim, Sekretaris Ditjen Bimas Kristen Oditha Rintana, Sekretaris Ditjen Penyelenggara Haji dan Umrah Cepi Supriyatna, Kapinhumas Zubaidi, Staf Khusus Menag Husnan Bey Fananie dan Budi Setiawan.

(E001/E011)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011