Pekanbaru (ANTARA News) - Pengamat politik dari Universitas Provinsi Riau Prof Dr Alimin Siregar mengatakan, penetapan status tersangka terhadap Ketua Komisi Pemilihan Umum Pusat Abdul Hafiz Anshary menunjukkan dia menjadi korban politik "kambing hitam" di kalangan elite politik.

"Semuanya semakin terlihat jelas ketika Abdul Hafiz Anshary kemudian ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi (MK) di Halmahera Berat, Maluku Utara," kata Alimin di Pekanbaru, Selasa.

Menurut Alimin, politik kambing hitam merupakan upaya para kalangan elite politik untuk melimpahkan kesalahannya terhadap sejumlah pihak yang dianggap lemah dan layak untuk menggantikan posisi sebagai orang atau kelompok yang bersalah.

Menurut Alimin juga, Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan institusi yang bekerja secara kolektif kolega yang tidak bisa mengambil keputusan sendiri atau bukan hanya bekerja diantara individunya saja.

"Dalam tubuh KPU juga tidak ada yang bisa mengambil suatu keputusan mutlak. Semuanya bahkan harus melibatkan berbagai institusi lain yang terkait," kata dia.

Alimin berpandangan, kasus Ketua KPU Pusat juga merupakan simbol keterpurukan bagi partai politik yang ada di tanah air dan juga lemahnya hukum pada institusi kepolisian.

"Saya memandang kasus ini sangat terintegrasi, bahkan pihak kepolisian sudah kehabisan akal untuk mengungkap siapa tersangka sebenarnya. Bukan tidak tahu, namun berbagai tekanan membuat kepolisian justru terdesak dan mencari institusi yang paling lemah, tidak lain adalah KPU untuk dikambinghitamkan," ujarnya.

Seperti yang tercuat oleh banyak media, demikian Alimin, mantan anggota KPU Andi Nurpati yang sebelumnya secara jelas mendapatkan tudingan sebagai pelaku utama justru terbebas dari kasus tersebut.

"Tidak mungkin tidak ada keterlibatannya (Andi Nurpati), namun karena dukungan partai penguasa, siapa saja bisa lolos dari jeratan hukum," kata dia.

Namun terlepas dari itu semua, menurut Alimin, saat ini para penguasa khususnya pada jajaran petinggi politik, terlihat jelas ingin melakukan suatu pergerakan "bawah tanah" untuk melemahkan sebagian institusi yang dianggap menganggu ketenangan para petinggi.

"Selain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), KPU juga salah satunya karena dianggap banyak mengetahui birokrasi dan bahkan persoalan-persoalan politik di tanah air," ujarnya.

Karena itu, kata Alimin, begitu terlihat sisi kelemahannya, para penguasa politik kemudian mengambil kesempatan untuk melemahkan KPU.

Dalam analisis pribadi, ujar Alimin, institusi KPU seperti kendaraan sejenis bus yang ditumpangi oleh banyak kalangan, termasuk pejabat partai politik.

Namun KPU kata dia hanya bertugas mengoperasikannya saja, sementara untuk mempersiapkan kursi dan segala suku cadang adalah pihak-pihak terkait yang salah satunya adalah para petinggi politik tanah air. Bahkan lanjutnya, kapasitas penumpang di "bus KPU" juga dapat diatur oleh pihak tertentu, terutama penguasa.

"Kondisi ini yang membuat KPU terus terpuruk dan menjadi `motor` bagi para maniak politik kambing hitam. Kondisi ini tentunya juga akan berdampak terhadap demokrasi bangsa yang selama ini diyakini akan terus maju, namun nyatanya semakin mundur bahkan kian terpuruk," demikian Alimin Siregar.  (FZR/B013)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011