Pontianak (ANTARA News) - Kecelakaan lalu lintas tidak sebatas kematian, kecacatan atau pun luka-luka, namun tidak jarang juga menyisakan goncangan ekonomi apalagi jika korban merupakan tulang punggung keluarga.

Ketentuan tentang besaran santunan yang didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.010/2008 tentang Besaran Santunan dan Iuran Wajib Dana Pertanggungan Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Penumpang Umum di Darat, Sungai/Danau, Ferry/Penyeberangan, Laut dan Udara dinilai sudah layak untuk diperbarui guna mengakomodir nilai santunan yang lebih memadai dan realistis.

Seorang korban kecelakaan lalu lintas, Munawir (29) warga Pontianak, Kalimantan Barat di kantor Jasa Raharja setempat, (8/10) menyatakan, kecelakaan yang dialaminya setahun lalu telah mengubah jalan hidupnya dari ayah yang produktif menjadi beban keluarga.

"Sebelumnya saya bekerja sebagai sopir angkot berpenghasilan Rp50 ribu-Rp100 ribu per hari dan sebagian bisa disimpan untuk bekal pendidikan anak. Tapi musibah menyebabkan saya kini malah tidak mampu memenuhi nafkah keluarga," ujar Munawir yang kaki kanannya harus diamputasi hingga betis.

Kecelakaan yang mengubah hidup Munawir terjadi saat dia tengah berdiri di pinggir jalan untuk menyeberang dan tiba-tiba ditabrak dengan keras oleh pengendara sepeda motor

"Saking kuatnya tabrakan, saya terbanting setelah kaki sebelah kanan ditabrak dengan keras oleh sepeda motor yang datang dengan kecepatan tinggi. Tabrakan itu menyebabkan kaki saya nyaris lepas dan baru setelah 12 hari tersadar dari koma di ruang ICU," ujarnya.

Kecelakaan itu mengakibatkan pengedara motor meninggal di tempatkejadian, sehingga praktis dirinya hanya mendapat bantuan dari asuransi.

Ayah satu anak itu menegaskan, kondisinya tidak pernah kembali seperti semula. Untuk berjalan saja gerakannya menjadi terbatas dan kini hanya sanggup membawa angkot satu kali dalam seminggu selama beberapa jam saja.

Selama mendapat perawatan di sebuah rumah sakit swasta di Pontianak, ia mengaku telah menghabiskan biaya sebesar Rp53 juta, termasuk untuk keperluan membeli sebuah kaki palsu seharga Rp4 juta.

"Biaya sebesar itu ditanggung sendiri dengan cara mengutang kesana kemari dan bahkan sampai menjual tanah untuk pengobatan serta membeli kaki palsu. Kalau ditanya idealnya, biaya perawatan harusnya Rp50 juta," ujar Munawir.

Dari pihak Jasa Raharja ia menerima biaya perawatan Rp10 juta yang merupakan nilai maksimal ditambah Rp12,5 juta atas cacat tetap dari nilai maksimal Rp25 juta. Dana itu masih jauh dari biaya yang telah dihabiskannya hingga bisa sembuh dengan tubuh yang ditopang sebelah kaki palsu.

Seorang anak korban kecelakaan lalu lintas, Siti (14) warga Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat menyatakan, ekonomi keluarganya sempat lumpuh setelah ayahnya Amrin (45) ditabrak sebuah truk setahun lalu.

"Semula kami bisa terbantu dengan adanya santunan yang diterima seminggu setelah kematian ayah dari Jasa Raharja. Tapi perlahan uang Rp25 juta itu habis untuk biaya kebutuhan sehari-hari," ujar Siti yang didampingi ibunya.

Ia menyatakan, selama tiga bulan keluarganya goncang dengan kematian ayah mereka. "Semua larut dalam kesedihan dan kami patah semangat sampai akhirnya tersadar dengan menipisnya uang untuk menunjang kebutuhan hidup," ujarnya.

Kini mereka sekeluarga sudah bisa tegar dan menerima takdir atas kepergian ayahnya. "Ibu membanting tulang dengan menyadap getah dan saya membantu di rumah menjaga adik-adik," ujarnya dengan suara serak.

Muannam (43) warga Jalan Arteri Supadio KM 15 Desa Limbong Kecamatan Sri Raya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, yang anaknya Ryan Dimas Anggi (14) menjadi korban meninggal akibat tabrakan juga menyatakan perlunya biaya santunan kematian dinaikkan.

"Anak saya meninggal terlindas truk saat main kelereng di bengkel," katanya.

Menurut dia, besaran santunan bagi korban meninggal perlu ditingkatkan hingga Rp50 juta. "Kalau saya disuruh memilih uang miliaran rupaih dengan nyawa anak, saya pasti pilih anak tetap hidup. Uang tidak bisa menggantikan keberadaan anak, tapi nilai santunan perlu dinaikkan," ujar pemilik usaha reparasi mobil itu.

Sementara menurut Munawir, biaya perawatan yang ditanggung asuransi Jasa Raharja sudah tidak memadai lagi. "Ditingkatkan setidaknya dua kali lipat atau bila perlu Rp40 juta-Rp50 juta, begitu juga untuk cacat tetap," ujarnya.

Ia berharap pihak asuransi juga memikirkan ekonomi dari keluarga korban, misalnya dengan memberikan bekal keterampilan dan pinjaman modal.


Tunggu Kepmen

Dirut PT Jasa Raharja Diding S Anwar menyatakan, perusahaan akan mengupayakan agar besaran santunan asuransi yang diterima korban maupun ahli waris lebih signifikan dibanding aturan yang berlaku sekarang.

Kenaikan santunan itu untuk mengakomodir kenaikan biaya rawat inap, rawat jalan, konsultasi dokter dan obat-obatan di hampir semua rumah sakit di seluruh Indonesia, ujar dia.

"Kenaikan itu akan segera diajukan ke DPR dan Menteri Keuangan untuk mendapatkan persetujuan. Pada 2012 kita harapkan aturan baru itu sudah bisa diberlakukan," ujarnya.

Nantinya korban meninggal dengan angkutan darat, laut dan penyeberangan akan mendapatkan santunan antara Rp40 juta hingga Rp50 juta dari sebelumnya Rp25 juta. Kenaikan santunan juga diberikan untuk korban meninggal dunia menggunakan pesawat dan biaya rawat inap.

Kenaikan santunan akan diikuti dengan kenaikan premi, namun kenaikan itu relatif kecil dan tidak memberatkan atau hanya sekitar 15 persen. Premi yang terendah saat ini adalah untu sepeda motor Rp30 ribu per tahun melalui sumbangan wajib dana kecelakaan lalu lintas dan jalan raya.

Kepala cabang Jasa Raharja Kalimantan Barat Tri Haryanto membenarkan santuan biaya perawatan untuk korban kecelakaan dan santunan bagi ahli waris korban meninggal dunia sudah mendesak untuk dinaikkan.

"Nilai santunan yang berlaku sekarang didasarkan Keputusan Menteri Keuangan tahun 2008, sementara saat ini biaya untuk rawat inap dan obat-obatan terus mengalami kenaikan hingga plafonnya perlu ditingkatkan nilainya," ujarnya.

Menurut dia, biaya pengobatan dan santunan kematian maupun cacat tetap masih mengacu kepada nilai ril rupiah yang terus tergerus tingkat inflasi setiap tahunnya.

Ia menyatakan, nilai santunan yang dibayarkan Jasa Raharja cabang Kalimantan Barat terus mengalami kenaikan, dampak dari meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas.

Pada 2007 santunan yang dibayarkan sebesar Rp5,342 miliar dan pada 2008 menjadi Rp11,436 miliar.

Selanjutnya pada 2009 santunan meninggal dunia sebesar Rp14,029 miliar dan luka-luka/cacat tetap Rp7,529 miliar, 2010 menjadi Rp15,992 miliar untuk meninggal dunia serta Rp8,398 miliar untuk luka-luka/cacat tetap.

Tingginya angka kecelakaan mendorong pihaknya untuk terus mengampanyekan keselamatan dalam berlalu lintas.

Bersama dengan aparat kepolisian terutama Direktorat Lalu Lintas Polda Kalbar, serangkaian kegiatan telah dilakukan seperti larangan anak SMP membawa sepeda motor ke sekolah, penyuluhan ke sekolah-sekolah hingga mengandeng media lokal untuk kampanye keselamatan berkendara.

"Mudah-mudahan saja pada 2012 usulan kenaikan biaya perawatan, cacat tetap dan santunan kematian bisa disetujui oleh Menteri Keuangan. Kita selalu berupaya agar perusahaan bisa memberikan sesuatu yang berarti bagi korban dan ahli warisnya," ujarnya.

"Bagaimana pun juga nyawa tetaplah yang paling berharga, namun kalau musibah itu terjadi korban dan ahli warisnya bisa lebih terbantu oleh pihak asuransi.
(T.M027/R014)

Oleh Maswandi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011