Surabaya (ANTARA News) - Kabareskrim Komjen Pol Sutarman menegaskan bahwa Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia bukan untuk menjadikan polisi sebagai "debt collector" (penagih utang) baru dalam mengatasi sengketa fidusia antara debitur-kreditur.

"Perkap 8/2011 merupakan solusi yang ditawarkan Polri untuk mengatasi keluhan masyarakat selaku debitur dari praktik `debt collector` yang melanggar hukum," katanya dalam sosialisasi Perkap 8/2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia (Berita Negara RI Nomor 360 Tahun 2011) di Surabaya, Kamis.

Didampingi Kapolda Jatim Irjen Pol Hadiatmoko dan Kepala Divisi (Kadiv) Pembinaan dan Hukum (Binkum) Mabes Polri Irjen Pol Mudji Waluyo, mantan Dirreskrim Polda Jatim itu menjelaskan bahwa bantuan pengamanan dalam eksekusi jaminan fidusia itu gratis.

"Karena itu, Perkap 8/2011 itu tidak akan melahirkan `debt collector` baru. Polri sekarang sudah diberi remunerasi dan uang operasional. Kalau kurang, ya kami akan lapor ke negara. Jadi, kami akan membantu perbankan untuk menagih, tapi bantuan itu tidak akan menimbulkan masalah hukum kepada masyarakat," kata mantan Kapolda Metro Jaya itu.

Namun, ia berjanji bila memang ada oknum Polri yang menyalahgunakan wewenang di lapangan, maka sebaiknya dilaporkan ke atasannya. "Laporkan saja, nanti akan kita tindaklanjuti, karena polisi itu memiliki cara bertindak yang terukur secara hukum. Kalau mereka melanggar, ya awasi," katanya.

Menurut dia, Perkap 8/2011 dibuat atas dasar analisa dan evaluasi terhadap kejadian yang berkembang di masyarakat terkait masalah yang sering timbul antara peminjam (masyarakat) dengan pemberi pinjaman (perbankan), namun masalahnya itu disikapi dengan melibatkan "debt collector" yang caranya sering melanggar hukum.

"Perkap 8/2011 itu akan memposisikan Polri berada di tengah antara masyarakat peminjam (debitur) dengan lembaga keuangan (perbankan) selaku pemberi pinjaman (kreditur), sehingga keduanya diuntungkan. Tidak akan ada main gebuk seperti `debt collector`," kata mantan Kapolwiltabes (Kapolrestabes) Surabaya itu.

Posisi di tengah yang dimaksud adalah pihaknya tidak ingin masyarakat menjadi korban akibat pemaksaan atau penganiayaan yang dilakukan "debt collector" untuk menagih utang atas perintah perbankan, tapi pihaknya juga tidak ingin perbankan dirugikan masyarakat akibat tidak membayar utang secara berlarut-larut.

Senada dengan itu, Deputi Pengawasan Bank Indonesia Dr Alamsyah menyatakan, lembaga perbankan memang berupaya untuk mempercepat penarikan kembali dana yang dipinjamkan, karena hal itu untuk menggerakkan perekonomian.

"Dalam lima tahun terakhir, perekonomian digerakkan dengan aset tidak gerak seperti sepeda motor atau mobil, namun bila pinjaman tidak segera dikembalikan, maka akan terjadi kemacetan, sehingga perekonomian juga tidak bergerak cepat," katanya.

Selama ini, untuk mempercepat pengembalian dana pinjaman itu, kalangan perbankan memang melibatkan "debt collector" karena sengketa perdata itu terlalu lama prosesnya, sedangkan perekonomian perlu digerakkan cepat.

"Debt collector sebenarnya sudah kami atur agar tidak melanggar hukum, tapi dalam praktiknya sulit, karena itu adanya Perkap 8/2011 itu penting untuk menjadikan proses penagihan tidak melanggar hukum," katanya.

Sementara itu, Kepala Divisi (Kadiv) Pembinaan dan Hukum (Binkum) Mabes Polri Irjen Pol Mudji Waluyo mengatakan permohonan pengamanan eksekusi jaminan fidusia itu diajukan secara tertulis.

"Kalau mengajukan permohonan itu bisa ke Kapolda atau Kapolres sesuai dengan `locus delictie` serta diatur dengan mekanisme yang tercantum dalam Perkap 8/2011 itu," katanya. (E011/M026/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011