Jakarta (ANTARA News) - Indonesia Maritime Institute mempertanyakan perbedaan pandangan antara Kementerian Keluatan dan Perikanan (KKP) dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) terkait impor garam akhir-akhir ini.

"Sebagai negara kepulauan yang dikelilingi lautan, seharusnya Indonesia tidak haruis masih terus mengimpor garam. Nyatanya sejumlah pelabuhan menjadi pintu masuk impor garam terutama asal India," kata Direktur Eksekutif IMI, Y Paonganan kepada wartawan, Sabtu.

IMI meminta KKP dan Kemendag melakukan koordinasi yang tepat dalam hal kebijakan impor garam.

Paonganan menyesalkan perbedaan pandangan soal impor garama antara Kemendag dan KKP. Disatu sisi Kemendag kata Paonganan terus melakukan impor garam, sisi lain KKP tidak optimal untuk meningkatkan produksi garam dalam negeri.

"Padahal jika KKP serius melakukan koordinasi antar wilayah, produksi garam kita bisa digenjot tidak perlu lagi melakukan impor. Kami pun yakin, Indonesia bisa swasembada garam," katanya.

Sebagai Negara dengan laut yang sangat luas, Doktor lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini berharap Indonesia sebagai negara pengekspor garam bukan negara mengimpor garam. "Harusnya Kemendag dan KKP melakukan koordinasi," ujarnya.

Diketahui masalah impor garam disebabkan banyak hal, sehingga Indonesia masih mengalami ketergantungan impor garam. Salah satunya karena pertumbuhan "suplai dan demand" yang masih berada dalam rasio 1:3.

Selain itu, tidak semua wilayah di Indonesia mampu dijadikan tempat pengelolaan garam, mengingat kondisinya yang kurang memenuhi syarat.

Adapun kebutuhan garam nasional sekira tiga juta ton, membuat Indonesia harus mengimpor garam 1,8 juta ton per tahun. Volume impor itu terus bertambah seiring meningkatnya kebutuhan dalam negeri untuk keperluan industri dan konsumsi rumah tangga rata-rata dua persen per tahun.

Masalah impor garam ini memicu perbedaan pandangan antara KKP dan Kemendag. Akibat masuknya impor garam tersebut, KKP melakukan penyegelan terhadap garam impor India yang masuk ke pelabuhan Bali.(*)

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011