Selalulah merasa kurang" Kemal Jufri
Jakarta (ANTARA News) - Berbicara fotojurnalistik di Indonesia kurang lengkap tanpa menyebut Oscar Motuloh.

Tapi mungkin juga masih kurang lengkap tanpa menambahkan anak didiknya, Kemal Jufri.

Mereka adalah kampiun fotojurnalistik Indonesia.

Satunya malang melintang bersama LKBN ANTARA, satunya lagi membangun kemahakaryaan bersama dengan lembaga-lembaga pers ternama dunia.

Tapi Oscar yang hingga kini masih berkarya untuk ANTARA, adalah mungkin maestro di atas maestro.

Segudang prestasi dimilikinya. Puluhan pameran baik dalam maupun luar negeri disambanginya. Tapi siapa sangka dia mulanya terpaksa menerjuni fotografi.

Kepada ANTARA News, Oscar bercerita, mulanya dia adalah wartawan tulis ANTARA, segera setelah dia menjalani Kursus Dasar Pewarta (Susdape) pada 1988.

Pada 1990, Parni Hadi, pemimpin redaksi ANTARA waktu itu, memintanya menangani biro foto yang ditinggal pensiun para fotografernya.

Oscar bingung.  Dia pikir, 'dari manakah saya mesti memulai mengelola biro foto?'  Dia memang telah mengenal fotografi sewaktu kuliah, tapi itu hanya sepintas.

Oscar pantang memutar langkah.  "Ibarat pepatah, terlanjur basah, ya mandi saja sekalian”, kata Oscar.

Tapi, sambungnya lagi, "Secara pribadi gua mempunyai keinginan untuk selalu menikmati visual.”

Fotografer jurnalistik senior kelahiran Surabaya yang kini berusia 51 tahun ini benar-benar belajar dari nol. Semuanya dilakukan secara otodidak.

Ditimbanya ilmu dari mana-mana, dari buku-buku fotografi hingga dari para fotografer senior Indonesia.

Oscar merasa itu tak sulit, karena katanya, “Tulis dan foto pada dasarnya hampir sama, yakni realita. Hanya saja penanganannya berbeda.”

Tapi Oscar tegas mengatakan dia tidak lahir karena bakat. Justru karena ketekunan dan keseriusannnya mendalami sesuatu. Hingga kini pun dia tak pernah lelah belajar.

Kerja keras dan keseriusannya berbuah teramat manis.  Namanya tak asing lagi di belantika fotografi dunia.

Ia tenar. Tapi, Oscar tetaplah Oscar. Dia tak memburu ketenaran itu. Oscar hanya ingion karya fotografi memberikan sumbangsih kepada kemanusian.

Dan dia ingin pandangannya ini menulari para penerusnya. “Umur karya foto itu tidak lebih dari 1×24 jam. Karena itu, fotografer jangan puas dengan apa yang didapatnya,” imbuhnya.

Motivasi yang jelas

Lalu bagaimana dengan Kemal Jufri? Dia juga menularkan kiat serupa Oscar.

Baru-baru ini dia meraih juara kedua kategori "People in the News Stories" dalam ajang bergengsi World Press Photo 2011.

“Untuk bisa menang di World Press Photo memang sulit, saya juga mencoba terus. Dan saya tidak pernah menjadikan itu sebagai target,” kata Kemal saat diskusi foto di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta, pekan lalu.

Lebih dari satu dekade dia menggeluti profesi ini.  Momentum karirnya bermula ketika mengkikuti workshop fotografi di GFJA beberapa tahun silam.

Sejak itu, Kemal kian serius menyelami fotojurnalistik, dan annak asuh langsung Oscar Matuloh ini memutuskan fotografer jurnalistik sebagai profesinya.

Dia pernah berkiprah untuk banyak penerbitan ternama seperti Asia Week, yang pernah menugasinya meliput kasus bredel majalah TEMPO pertengahan 1994.

Kemudian, pada 1996, dia menjadi fotografer kontrak untuk kantor berita Perancis, AFP, biro Jakarta.

Kemal mengaku, di situlah dia melewati proses yang mematangkannya.

“Pada masa itu, saya merasa benar-benar dididik. Banyak peristiwa penting terjadi di Indonesia saat itu. Saya harus terjun langsung sendiri dan akhirnya banyak belajar dari situ,” paparnya.

Malang melintang bersama AFP, Asia Week, Time, Newsweek dan Far Eastern Economic Review, dia kini menikmati jerih payahnya. Segudang mahakarya yang diciptakan dan prestasi yang direngkuhnya.

Tapi, seperti sang guru, Oscar Motulah, Kemal merasa semua prestasi itu dicapainya berkat kerja keras dan konsistensinya pada profesi.

Dia merasa terpanggil mendokumentasikan masalah-masalah manusia demi membawa perubahan dan menyentuh hati sesamanya.

Dia juga tak berpuas diri. “Masih banyak isu-isu yang ingin saya telusuri,” katanya.

Kemal ingin junior-juniornya juga tidak cepat berpuas diri.  "Selalulah merasa kurang dan selalu ada hal baru yang harus dipelajari," katanya.

Dia menyebut fotojurnalistik sebagai profesi yang mesti dibarengi dedikasi dan motivasi yang jelas.  (*)

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011