Washington (ANTARA News) - Pemimpin penting Hamas, Mahmud Al Zahar, Minggu mengatakan ia sangat ragu bahwa Israel benar-benar tulus untuk hidup berdampingan secara damai dengan sebuah negara Palestina yang berdaulat, kendatipun adanya jaminan yang diutarakan penjabat PM Ehud Olmert baru-baru ini. "Saya kira kami sangat meragukan niat Israel," kata Al Zahar kepada stasiun televisi CNN dalam program Late Edition, dengan menuduh Israel menyimpan niat ekspansi. Ia menetapkan beberapa prasyarat untuk perdamaian dengan Israel. "Jika Israel bersedia menerima tuntutan nasional kami, mundur dari wilayah yang diduduki pada tahun 1967 (perbatasan menjelang perang Enam hari tahun 1967), membebaskan para tahanan kami, menghentikan agresi mereka, membuat hubungan geografi antara Jalur Gaza dan Tepi Barat, pada saat itu, dan dengan jaminan dari pihak lain, kami akan setuju membentuk negara kami yang merdeka," katanya, seperti dikutip AFP. Tetapi Al Zahar menambahkan bahwa hal itu akan memerlukan waktu "satu atau dua, 10, 15 tahun untuk melihat apa niat sesungguhnya Israel setelah itu," dan menambahkan : "Kami tidak percaya bahwa Israel akan tetap menghormati perjanjian-perjanjian mereka." "Itu adalah salah satu alasan utama bagi intifadah terakhir," kata pemimpin Hamas itu, mengacu pada apa yang disebut aksi perlawanan Palestina kedua. "Tuan Arafat (mantan pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina Yasser Arafat") dan Hamas mencapai kesimpulan aksi itu membuang waktu kami." Hamas meraih kemenangan dalam pemilihan parlemen Palestina Rabu pekan lalu mengalahkan partai Fatah yang berkuasa. Kendatipun banyak masyarakat internasional mencap Hamas sebagai kelompok teror, Al Zahar mengecam keras pernyataan itu dan menyebut Hamas satu gerakan pembebasan yang didukung rakyat Palestina yang "mengharapkan dapat hidup sebagai manusia". "Saya ingin menanyakan kepada anda apa definisi internsional tentang terorisme?" katanya kepada CNN. "Apa yang terjadi d sini bukan terorisme, kecuali oleh pihak Israel," tabah Zahar. Desakan kelompok HAM Para pemimpin kelompok hak asasi manusia Human Rights Watch (HRW) mendesak Hamas untuk menyatakan penghentian secara tetap serangan terhadap sasaran sipil Israel dan mengatakan kemenangan dalam pemilihan parlemen Palestina membuat janji seperti itu diperlukan. HRW juga mendesak pemerintah yang dibentuk Hamas agar menyerukan kelompok-kelompok bersenjata Palestina lainnya menghentikan aksi kekerasan terhadap warga sipil. Kemenangan Hamas dan mandat untuk membentuk pemerintah baru Palestina "membuatnya pantas dan perlu bagi anda untuk memperluas dan memperpanjang penghentian aksi kekerasan yang diumumkan Hamas awal tahun lalu dan menyatakan tanpa syarat bahwa organisasi itu tidak akan menyerang sasaran sipil dalam situasi apapun pada masa mendatang," kata surat kelompok HRW itu. "Serangan yang berniat untuk membunuh atau mencederai warga sipil melanggar prinsip paling utama kemanusiaan," kata organisasi yang berpusat di New York itu. Hamas, yang diperkirakan akan membentuk pemerintah baru, mengecam ancaman Barat untuk menghentikan bantuan sebagai pemerasan dan menolak imbauan untuk melucuti senjata anggotanya dan mengakhiri komitmen resminya untuk menghancurkan Israel. Menlu AS, Condoleezza Rice, mengatakan ia yakin PBB, Uni Eropa, Rusia dan negara-negara lain yang terlibat dalam usaha perdamaian Timur Tengah memiliki pendapat sama bahwa bantuan harus tidak diberikan kepada Hamas dan kelompok-kelompok lain yang mwendukung penghancuran israel. "Penghentian bantuan internasional tidak akan menggangu kerja pemerintah," kata jurubicara Hamas dan anggota parlemen terpilih Mushir al Masri dan menambahkan kelompok garis keras itu dapat mencari bantuan pada negara-negara Arab. (*)

Copyright © ANTARA 2006