Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi IV DPR Rofi Munawar mengatakan, operasi pasar beras yang dilakukan Bulog harus diimbangi dengan peningkatan penyerapan gabah petani oleh BUMN tersebut agar petani tidak dirugikan.

"Operasi pasar memang perlu dilakukan untuk menstabilkan harga, tetapi operasi pasar yang masif harus diimbangi dengan daya serap yang tinggi di tingkat petani. Karena jika tidak seimbang stok akan cepat habis," kata anggota DPR-RI dari Fraksi PKS itu dalam surat elektronik yang diterima ANTARA di Jakarta, Rabu.

Ia mengkhawatirkan fenomena operasi pasar menjelang dan saat puasa atau Lebaran selalu berujung pada alasan klasik bahwa Bulog harus melakukan impor guna mengamankan stok.

Pernyataan tersebut dikemukannya seiring diumumkannya kebijakan Bulog pada pekan lalu (21/7) yang akan mengimpor beras sebanyak 500 ribu ton dari Vietnam guna mengatasi meningkatnya harga beras menjelang Puasa dan Lebaran.

Menurut Rofi, Bulog seharusnya tidak melakukan kebijakan impor beras untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri karena produksi beras dari petani masih mencukupi.

"Bulog tidak perlu melakukan impor, data BPS menunjukkan bahwa produksi beras di dalam negeri cukup dan masa panen masih berlangsung di banyak tempat," katanya.

Ia mengatakan, berdasarkan data BPS pada 1 Juli, produksi beras berdasarkan Angka Ramalan II naik 2,4 persen.

Selain itu, kata dia, panen padi berlangsung sampai Agustus dan pada September memasuki masa tanam. Sedangkan masa paceklik diperkirakan pada Oktober, November dan Desember.

Rofi memperkirakan, dengan harga beras Vietnam yang rata-rata mencapai 500 dolar AS per ton, nilai impor beras mencapai Rp2,1 triliun. "Impor beras menghabiskan Rp2,1 triliun. Bulog lebih memilih menyejahterakan petani Vietnam. Ini sekali lagi bukti bahwa pemerintah tidak berpihak kepada petani dalam negeri," katanya.

Menurut dia, untuk mengamankan stok beras di dalam negeri seharusnya Bulog melakukan manajemen stok yang lebih baik dan lebih kreatif menyerap gabah petani.

"Bulog harus lebih agresif menyerap gabah dari petani, jika perlu para kepala divisi regional Bulog turun menjemput dan meyakinkan petani untuk menjual gabahnya," ujar Rofi.

Ia juga meminta Bulog membuka akses lebih luas agar petani mudah menjual gabahnya langsung ke BUMN tersebut tanpa perantara.

Ia menilai, selama ini serapan gabah oleh Bulog masih rendah di banyak divisi regional (divre). Sampai dengan pertengahan Juli, serapan gabah dari petani masih sekitar 20 persen.

Ia mencontohkan di Jawa timur yang menjadi salah satu lumbung beras nasional, Bulog yang ditargetkan menyerap 1.150.000 ton pada 2011, sampai Juli baru menyerap 23 persen.

"Bahkan ditengarai Bulog malah tidak mau membeli gabah petani, karena alasan gudang penuh," ujar Rofi.

Ia mempertanyakan kebijakan impor beras oleh Bulog untuk mengatasi kenaikan harga beras di dalam negeri yang mencapai Rp12 ribu per kilogram untuk beras berkualitas baik dan Rp8.500 per kilogram untuk beras berkualitas sedang.

"Bila BPS dan Kementerian Pertanian saja yakin bahwa panen berjalan optimal dan produksi beras naik, lalu atas alasan apa Bulog ngotot mengimpor beras dari Vietnam," kata Rofi.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, terdapat tiga provinsi yang mencatat surplus padi yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan.

Pada 2011, terdapat 10 provinsi yang menjadi sentra produksi padi terbesar yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Sumatera Barat, Banten, dan Nusa Tenggara Barat.(*)

(T.R016/N002)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011