Denpasar (ANTARA News) - Dua orang saksi yaitu Demitrius dan Abrory Djabbar yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Martha P Berliana Tobing dalam sidang Anand Krishna di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (20/7), dinilai tidak kredibel.

Siaran pers Anand Ashram yang diterima Rabu, menyebutkan bahwa saksi pertama, Demitrius mengaku  keluar dari Anand Ashram bukan karena adanya kasus pelecehan seksual, tapi oleh sebab lain.

"Saksi pada persidangan itu menyatakan kecewa terhadap konstruksi rumah yang dibelinya di Ciawi. Tapi dia juga mengakui bahwa persoalan itu sudah diselesaikan secara kekeluargaan tahun 2005-2006. Rumah itu tak bersertifikat atas nama Demitrius, melainkan menggunakan nama mantan istrinya," kata Astro Girsang, kuasa hukum Anand Krishna, dalam penjelasan melalui Hadi Susanto dari Anand Ashram Kuta.

Diungkapkan bahwa Demitrius mengaku pernah melihat Anand Krishna melakukan hubungan seks dalam kegelapan malam dari jarak sekitar 30 meter lewat sebuah jendela yang tirainya sedikit terbuka.

"Bagaimana dia mampu melihat dari jarak sejauh itu dalam kegelapan malam dari sebuah jendela kecil berkorden? Itu pun terjadi sebelum dirinya keluar dari Anand Ashram tahun 2005, sehingga tidak ada kaitannya dengan kasus yang dilaporkan. Kualitas kesaksian seperti ini sangat meragukan dan mudah direkayasa," ujar Andreas Nahod, kuasa hukum Anand Krishna lainnya menegaskan.

Sementara itu, saksi Abrory Djabbar diketahui menggunakan dua identitas berbeda alamat, yakni beralamat di Jalan Yupiter IV/3 Villa Cinere Mas dan Jalan Raya PLN No. 41 Gandul Cinere.

Pada dua identitas alamat rumah tersebut juga terdapat perbedaan tanggal lahir yang bersangkutan, yakni 1 Januari 1965 dan lainnya 5 Februari 1976. Hal itu dapat ditemukan dalam berkas berita acara pemeriksaan kepolisian, sehingga dia diduga keras mempunyai dua kartu tanda penduduk (KTP).

Fakta itu sempat menjadi perhatian hakim ketua Albertina Ho dengan langsung menegurnya. "Sebagai seorang ahli hukum, anda tahu konsekuensi dari hal ini," kata hakim ketua Albertino Ho kepada saksi, seperti disampaikan Azis dari kantor hukum Darwin Aritonang.

Abrory Djabbar juga mengakui bahwa pertemuan-pertemuan sebelum pelaporan ke polisi kerap dilakukan atas inisiatif istrinya, Dian  Maya Sari dan dikoordinir oleh Shinta Kencana Kheng, terutama di rumahnya di Cinere.

Shinta Kencana Kheng adalah saksi yang diduga mempunyai hubungan khusus dengan Hari Sasangka, hakim ketua dalam persidangan kasus Anand Krishna sebelumnya dan posisi itu digantikan oleh Albertina Ho.

Saksi Abrory Djabbar juga mengaku pernah menyaksikan istrinya itu dilecehkan oleh terdakwa Anand Krishna pada tahun 2001.

Tetapi ketika ditanya oleh hakim ketua, kenapa saat itu tidak melapor ke polisi dan memilih keluar dari Anand Ashram tahun 2005, Abrory Djabar menjawab bahwa saat itu tidak cukup bukti.

Jawaban saksi tersebut membuat hakim ketua Albertina Ho geram dan menegaskan bahwa sebagai orang yang mengerti hukum, semestinya tahu bahwa yang menentukan apakah sebuah kasus cukup bukti atau tidak adalah polisi, bukan kuasa hukum.

Menurut Andreas Nahod, teguran itu memperkuat dugaan, bahwa Abrory Djabbar menunggu momentum yang tepat dan sudah merencanakan pelaporan kasus Anand Krishna itu sejak lama. "Dugaannya, telah terjadi apa yang disebut premeditated crime," ucapnya menegaskan.

Dugaan itu diperkuat keterangan kuasa hukum Darwin Aritonang bahwa dirinya pernah diberi syarat oleh saksi Abrory Djabbar di salah satu stasiun televisi swasta untuk menyelesaikan kasus tersebut, Anand Krishna harus menyerahkan Anand Ashram dan keluar dari lembaga yang didirikannya tersebut.
(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011