Banyak dari rekan-rekan kami yang dikalahkan meski telah mengajukan penawaran paling rendah. Alasannya ada beberapa persyaratan yang tidak dipenuhi yang menurut kami sebenarnya hanya alasan yang dicari-cari.
Jakarta (ANTARA News) - Kalangan kontraktor minta pengaturan kembali lelang di BUMN agar pelaksanaannya berjalan dengan adil (fair).

"BUMN konstruksi saat ini menguasai 75 persen lelang yang diselenggarakan pemerintah, sedangkan swasta nasional kalau beruntung kebagian sisanya," kata Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengusaha Barang dan Jasa Indonesia (ASPANJI), Effendy Sianipar, di Jakarta, Senin.

"Pemerintah selalu memenenangkan BUMN untuk pekerjaan yang sebenarnya sanggup dilaksanakan swasta nasional menengah dan kecil, sehingga banyak pekerjaan sederhana di bawah Rp5 miliar yang justru digarap BUMN," kata Effendy.

Effendy berpendapat, pemerintah seharusnya menjalankan fungsi pembinaan dalam penyelenggaraan lelang dan memberikan peluang kepada swasta nasional kecil memengah untuk ikut bersaing secara adil dan transparan.

"Banyak dari rekan-rekan kami yang dikalahkan meski telah mengajukan penawaran paling rendah. Alasannya ada beberapa persyaratan yang tidak dipenuhi yang menurut kami sebenarnya hanya alasan yang dicari-cari," kata Effendy.

Menurut Effendy, dominasi BUMN dalam proses lelang di pemerintah sebenarnya akan menimbulkan kerawanan-kerawanan seperti kemungkinan terjadinya tindak pidana korupsi," kata dia.

"Kalau perusahaan menengah dan kecil hanya dijadikan subkontraktor BUMN besar, hal itu akan membuat mereka tidak mampu untuk berkembang. Apalagi kalau kebagiannya hanya untuk pekerjaan-pekerjaan yang nilainya kecil saja," ujar Effendy.

Menurut dia, dalam pelaksanaan tender, kontraktor telah memperhitungkan besaran keuntungan sekitar 5-10 persen saja. Namun kalau yang dimenangkan nilai yang di atas itu berarti ada keuntungan yang sangat besar yang rawan terhadap tindak pidana korupsi.

Kasus korupsi proyek Hambalang yang melibatkan BUMN konstruksi merupakan salah satu contoh tidak dilaksanakannya proses lelang secara benar dan transparan, ungkap Effendy.

Ia mengatakan, pembenahan dapat dimulai dari menertibkan pejabat pemerintah (kementerian) aktif yang masih menjabat dalam posisi komisaris BUMN konstruksi agar tidak terjadi konflik kepentingan.

Menurut dia, selama ini banyak BUMN mendapat pekerjaan yang dibiayai APBN dan APBD karena komisarisnya banyak diisi pejabat pemerintah yang masih aktif padahal ini melanggar peraturan dan menimbulkan berbagai kerawanan.

Hal senada juga dikemukakan Ketua DPD Asosiasi Kontraktor Ketenagalistrikan Indonesia (AKLINDO) Sumatra Selatan, Herry Herdian Koeswoyo, yang mengatakan, penyimpangan dalam pelaksanaan tender juga terjadi di PLN.

Menurut dia, kasus terakhir yang terjadi saat ini dalam proses sanggah adalah pengadaan travo 150 KV di UPT Tanjung Karang yang dimenangkan justru perusahaan yang mengajukan penawaran paling tinggi Rp7,2 miliar, sedangkan yang mengajukan Rp6,5 miliar dikalahkan.

Herry mengatakan, apabila proses lelang dibiarkan seperti ini maka BUMN akan semakin tidak efisien dan sulit untuk bersaing.

Serupa dengan hal itu juga terjadi di sektor telekomunikasi, menurut Ketua Asosiasi Perusahaan Nasional Telekomunikasi (APNATEL), Riad Oscha Chalik, tender pengadaan serat optik juga akan menimbulkan kerawanan.

Pemerintah harus berhati-hati mengenai kebijakan sinergi BUMN, terbukti dalam kasus penunjukkan PT Inti dan Len Industry pada pengadaan serat optik senilai Rp6 triliun ternyata menimbulkan persoalan, kata Riad.

Menurut dia, penunjukan langsung untuk angka yang sangat besar akan menimbulkan biaya tinggi yang sulit untuk dipertanggungjawabkan transparansinya apalagi kalau disebut-sebut ada komisi di dalamnya.

Riad juga mengungkap penyelenggara tower bersama yang investasinya Rp200 miliar ternyata hanya diikuti beberapa perusahaan saja hal ini karena besarnya biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk perizinan dan sebagainya.

Lebih jauh Effendy, pengadaan pekerjaan di daerah sebenarnya sudah dibagi-bagi perusahaan BUMN yang mendapatkannya sedangkan perusahaan swasta menengah kecil hanya mendapat bagian sebagai sub atau sub dari sub.

(G001)(A027)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011