Padang (ANTARA News) - Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia Sumatera Barat Gusrizal Gazahar menekankan Pemerintah Daerah di Sumatera Barat untuk tegas dalam penanganan persoalan anak jalanan, gelandangan dan pengemis, apalagi menjelang masuk dan selama Ramadhan 1432 Hijriah.

"Untuk menangani persoalan sosial anak jalanan, gelandangan dan pengemis di Sumbar, pemerintah daerah harus bertindak tegas guna meminimalisir dampak negatif yang dimunculkannya," katanya di Padang, Rabu.

Menurutnya, persoalan anak jalanan, gelandangan dan pengemis bukan hal baru di Sumbar, khususnya di Kota Padang, namun hingga saat ini pemerintah dinilai belum bertindak tegas dalam penanganannya.

Ia mengatakan, penindakan yang dilakukan oleh instansi terkait di pemerintahan masih separuh-separuh. Misalnya, ada anak jalanan yang ditertibkan, namun pembinaan yang dilakukan terhadap mereka belum optimal.

"Jadi wajar saja mereka (anak jalanan dan geladangan/red) itu kembali lagi ke jalanan, meski telah dibina di rumah singgah," katanya.

Sementara, tindakan hukum terhadap pihak-pihak yang menggerakkan gelandangan dan anak jalanan belum juga dilakukan maksimal.

Ia mengatakan, tidak mungkin anak-anak yang seharusnya berada di dunia pendidikan turun ke jalan jika tidak ada yang memaksa mereka untuk hal itu, katanya.

"Seharusnya pihak ketertiban dan keamaan mampu mengusut persoalan tersebut, siapa yang menyuruh mereka turun ke jalan?" katanya.

Selain itu, persoalan pengemis juga tidak terlepas dari pengaruh kesadaran masyarakat dalam memahami konteks memberi pada hukum Islam.

Ia menegaskan secara syar`i hukum asal mengemis itu adalah haram. Dalam pandangan Islam, orang yang memberi kepada pengemis dianggap berperan membuka peluang semakin maraknya kesemerautan suatu daerah akibat ulah anak jalanan, gelandangan dan pengemis.

Ia mengatakan, memberi tidaklah salah, namun seharusnya dilakukan pada tempat yang benar.

"Seperti yang disampaikan Umar Bin Khatab dalam nasihatnya, jika kamu ingin memberi maka buatlah orang yang meminta itu merasa cukup," ujarnya.

Dalam konteks itu, katanya, termuat sebuah pelajaran bahwa memberi itu harus menjadi solusi untuk menuntaskan persoalan sosial, bukan sebaliknya justru memicu sikap kecanduan para pengemis untuk kembali meminta-minta tanpa merasa cukup.

Ia menjelaskan, meminta secara syar`i hanya diperbolehkan dalam kondisi terpaksa seperti, orang yang benar-benar ditimpa kesusahan sementara tidak ada yang dapat dilakukannya.

Selanjutnya, orang-orang yang tengah ditimpa bencana sementara tidak ada lahan untuk berusaha.

"Terakhir, orang yang diperbolehkan meminta jika dalam kondisi berhutang akibat mendamaikan suatu perseteruan sementara ia diharuskan mendanai orang disekitarnya," katanya.

Selain itu, persoalan anak jalanan, gelandangan dan pengemis tidak bisa dilepaskan dari persoalan peluang kerja di daerah. Minimnya lapangan kerja berbanding terbalik dengan jumlah masyarakat usia produktif yang mencari pekerjaan.

Akibatnya, masyarakat usia produktif yang menganggur tumpah ke jalanan sebagai langkah antisipasi memenuhi kebutuhan hidup.

Selain itu, perbandingan dunia kerja, yang seharusnya dilakoni oleh kaum laki-laki, namun sebagian besar justru dikuasai kaum wanita.

"Salah satu tranformasi sistem sosial perkotaan yang negatif adalah munculnya pengemis dan anak jalanan yang menjadikan jalan sebagai tempat mencari penghidupan, sementara lahan kerja strategis justru telah mulai dikuasai perempuan," katanya.

Islam mengatur, fasilitas umum bukanlah tempat yang dibolehkan untuk mencari nafkah, sementara aktivitasnya justru mengganggu ketertiban umum.

Ia menegaskan kembali, Pemerintah seharusnya tidak ragu dalam menindak aktivitas masyarakat yang terang-terang mengganggu ketertiban umum.

Untuk itu, ia menyarankan agar pemerintah berindak tegas pada pengemis dan gelandangan namun tetap mempertimbangkan aspek toleransi yang disertakan memuat solusi sosial.(*)
(T.KR-AH/Y006)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011