Jakarta (ANTARA News) - Badan Perlindungan Konsumen Nasional menilai Prita Mulyasari sebagai konsumen yang merasakan ketidakpuasan atas pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional berhak menyampaikan keluhan terkait pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit itu.

"Kami mempertanyakan apakah pernyataan keluh kesah Prita pada jejaring sosial di internet termasuk dalam kategori penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, atau justru sebuah keluhan," kata anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Gunarto dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Selasa.

Gunarto yang ditunjuk menjadi juru bicara BPKN mengutarakan hal itu ketika menanggapi putusan kasasi Mahkamah Agung atas perkara pencemaran nama baik yang dituduhkan kepada Prita Mulyasari, pasien RS Omni Internasional Tangerang.

Putusan kasasi tersebut telah memenangkan permohonan kasasi yang diajukan oleh jaksa penutunt umum, dan menghukum Prita selama enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun.

Dengan putusan tersebut, Prita tidak perlu ditahan untuk menjalankan hukuman enam bulan, namun harus berkelakuan baik selama satu tahun, dan tidak mengulangi perbuatannya.

Menurut majelis kasasi, Prita terbukti memenuhi kualifikasi tindak pidana pencemaran nama baik, terkait pernyataan Prita dalam surat elektronik mengenai Rumah Sakit Omni Internasional.

Gunarto mengatakan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, berlaku sejak 20 April 2000, menyebutkan konsumen memiliki sejumlah hak yang dijamin oleh UU antara lain hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

Selain itu, juga hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan, hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Hak lain adalah diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, serta hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

"BPKN mempertanyakan hal ini karena pada dasarnya keluhan Prita tersebut `bukan tanpa hak`, di samping itu yang disampaikan juga bukan sesuatu yang bersifat fitnah. Prita Mulyasari benar-benar konsumen yang merasakan ketidakpuasan atas pelayanan konsumen," kata Gunarto.

Hakim agung mestinya dalam memutuskan perkara tidak hanya melihat dari satu undang-undang, namun juga melihat dari undang-undang lain, terkait dalam hal ini adalah UU N0. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Langkah Mundur

BPKN menilai Prita Mulyasari merupakan sosok yang sadar untuk menggunakan haknya sebagai konsumen, sehingga sungguh ironis jika seorang konsumen yang menyuarakan haknya justru dihukum dan dianggap melanggar hukum.

Selain itu vonis yang demikian akan membuat konsumen lainnya takut menyuarakan keluhan yang pada akhirnya akan selalu menjadi objek semena-mena pelaku usaha produk barang/jasa dan merupakan langkah mundur dalam upaya pemberdayaan konsumen.

"Putusan yang kurang berpihak pada keadilan seperti itu harus tidak diterima, karena itu diharapkan Prita Mulyasari menggunakan haknya untuk mengajukan PK (peninjauan kembali)," kata Gunarto.

Ia mengharapkan hakim yang menangani kasus ini mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dan seadil-adilnya sehingga dapat mengoreksi keputusan tersebut.

Dukungan publik yang besar terhadap Prita Mulyasari mengindikasikan adanya keadilan masyarakat yang terusik atas putusan kasasi MA tersebut.

(A025/E005)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011