Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M Gaffar mengatakan, konsep surat palsu putusan Mahkamah Konstitusi terkait penetapan calon anggota legislatif dapil Sulawesi Selatan I dari Hanura, Dewi Yasin Limpo dibuat dan diketik di rumah mantan hakim MK, Arsyad Sanusi.

Pengkonsepan surat palsu itu terungkap dalam rapat Panitia Kerja Mafia Pemilu Komisi II DPR dengan Ketua MK Mahfud MD di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa.

Menurut Janedjri dalam paparannya menyebutkan, Staf Juru Panggil MK, Mashuri Hasan datang ke ke rumah Arsyad pada tanggal 16 Agustus 2009. Sebab Hasan ditelepon oleh putri Arsyad bernama Neshawati.

"Tanggal 16 Agustus 2010, Hasan datang sendiri ke rumah Arsyad karena ditelepon putri hakim Arsyad, Nesha. Hasan diminta Arsyad untuk datang ke apartemen pejabat negara di Kemayoran, di kediaman Arsyad, Hasan kemudian mengcopi file, dibuat tanggal 14 Agustus 2009, dalam sebuah file tersendiri, menurut pengakuan Hasan substansi file tidak diubah," ujar Janedjri.

Kemudian, kata Janedjri, Hasan memprint konsep tersebut yang diberi tanggal surat 14 Agustus 2009, dan diberi nomor surat 112 dengan tulisan tangan. Itu diakui oleh Hasan serta bukti-bukti juga ada.

Bukti buku penomoran surat, lanjut Janedjri juga ditulis Hasan dengan tulisan tangan. Lalu meluncurlah Hasan ke gedung MK dengan maksud untuk mengadministrasikan surat yang sudah dikonsep tersebut.

Karena hari itu libur, dan petugas administrasi yang juga Sekretaris Panitera MK bernama Alifah tidak masuk, Hasan akhirnya memutuskan untuk mengadministrasikan surat keluar masuk itu sendiri.

"Tapi Hasan saat itu tidak punya tanda tangan Panitera MK, Zaenal Arifin Hoesein," jelas Janedjri.

Berikutnya, berdasarkan keterangan Janedjri, Hasan pun mencangkok komputer dan membongkar isinya. Ternyata Hasan punya file tanda tangan panitera MK dengan nomor file 'TTD Panitera 0000059'. Tanda tangan itu akhirnya discan (dipindai).

Pemindaian file itu kemudian disimpan ke USB milik Alifah akan tetapi menurut pengakuan Alifah USB rusak dan sudah tidak dapat digunakan. Tapi, Hasan akhirnya tetap menuju kediaman Arsyad dan disitu sudah ada Dewi Yasin Limpo.

Selanjutnya Hasan menyerahkan konsep surat ke Arsyad, sementara USB diminta seseorang yang tidak diketahui namanya.

Sekitar pukul 12.00 WIB panitera MK, Zaenal Arifin Hoesein ditelepon Arsyad, ia saat itu menanyakan apakah putusan Hanura adalah penambahan atau tidak, dalam jawabannya itu, Panitera mengatakan bukan penambahan.

Lalu Arsyad mengatakan bahwa ada Caleg dari Dapil Sulsel I bernama Dewi Yasin Limpo bermaksud menemui panitera MK, namun ditolak dengan alasan kalau mau bertemu di kantor saja.

Akan tetapi pada malam harinya sekitar pukul 20.00 WIB, Panitera MK kedatangan tamu yakni Dewi Yasin Limpo. Caleg Hanura ini datang ke perumahan pegawai dan karyawan MK di Bekasi, Jawa Barat.

Kala itu Dewi minta tolong agar surat jawaban panitera agar ada kata penambahan. Permintaan langsung ditolak Panitera MK karena sebelumnya tidak mengenal karena baru ketemu saat itu juga itu 16 Agustus.

Siang hari pukul 14.00 WIB tanggal 17 Agustus 2009 Hasan bertemu Ketua MK Mahfud MD kurang lebih selama 15 sampai 20 menit. Saat itu Hasan berkonsultasi ke Ketua MK perihal surat jawaban putusan.

Ketua MK menjelaskan bahwa surat jawaban harus berdasar ke amar putusan MK, yang harus dikirim ke Andi Nurpati.

Intinya setelah itu surat dibawa ke KPU pada sore hari dengan maksud diberikan ke Komisioner KPU. Saat itu Hasan ditemani Nalom, disana mereka bertemu Dewi Yasin Limpo yang juga sudah berada di KPU. Kemudian Dewi menelepon yang kemungkinan adalah Arsyad karena bahasa yang digunakan bahasa daerah.

"Saat itu Nalom tak memahaminya, tapi ternyata yang berbicara adalah Nesha putri bapak Arsyad, Nesha meminta dewi Yasin Limpo membaca isi surat tersebut, lalu diserahkan ke Dewi Yasin Limpo, karena menurut Nesha itu atas perintah pak Arsyad," jelas Janedjri.

Malam harinya, kedua staf MK itu meluncur ke Jak TV bertemu anggota KPU Andi Nurpati, surat diterima Andi Nurpati dan menurut Nalom dan Mashuri Hasan, ketika membuka surat Andi Nurpati sempat berkomentar dan menolak suratnya.

"Ibu Andi Nurpati berkomentar, tidak seperti ini suratnya, kalau tidak mengubah jumlah kursi mengapa dikabulkan. Andi Nurpati tidak mau menandatangani tanda terima surat, lalu disampaikan ke supir Andi Nurpati, dengan tanda bukti penyampaian surat, ditandatangani saudara Aryo yang juga supirnya," jelas Janedjri.(*)
(Zul)

Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011