Jakarta (ANTARA News) - Nasib pilu tenaga kerja Indonesia di luar negeri kembali mencuat, kali ini menimpa Ruyati di Mekkah, Arab Saudi.

Tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Kampung Ceger RT 03/01 Kecamatan Sukatani, Bekasi, Jawa Barat menjalani hukuman mati dengan cara dipancung di Mekkah pada Sabtu (18/6).

Pemegang paspor nomor AL 786899 itu dihukum mati karena membunuh istri majikannya, Khoiriyah Omar Moh Omar Hilwani, di Mekkah pada 12 Januari 2010 setelah bertengkar karena keinginannya untuk pulang tidak dikabulkan.

Ruyati dikirim untuk bekerja di Arab Saudi oleh pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS) PT Dasa Graha Utama sejak 2008.

Kabar kematian Ruyati secara tragis itu mengundang berbagai komentar dari para petinggi negeri ini.

Wakil Ketua Komisi IX DPR Irgan Chairul Mahfiz menyatakan bahwa DPR sangat mengecam hukuman mati atas TKI berusia 54 tahun itu.

"Ini membuktikan perlindungan terhadap TKI masih sangat lemah," kata Irgan yang juga Koordinator "Tim Khusus DPR untuk Penanganan TKI di Arab Saudi".

Ia menegaskan kasus Ruyati tersebut membuktikan bahwa penempatan dan perlindungan TKI di Saudi masih bermasalah.

"Apalagi saya mendengar masih ada puluhan TKI yang terancam hukuman di Saudi," katanya.

Irgan menyatakan berbagai persoalan yang merugikan kepentingan TKI senantiasa berulang yang membuktikan bahwa pemerintah Arab Saudi kurang peduli pada perbaikan perlindungan tenaga kerja asing di negeri itu apalagi Saudi sangat membutuhkan tenaga kerja asing termasuk dari Indonesia.

Selain itu pemerintah Indonesia pun masih perlu memperbaiki pelayanan penempatan dan perlindungan TKI ke negara penempatan termasuk ke Saudi.

"Semua persoalan ini harus diselesaikan. Pemerintah Indonesia dan Saudi harus memiliki komitmen kuat untuk melindungi TKI," katanya.

Selama persoalan itu belum bisa diatasi maka penghentian sementara (moratorium) penempatan TKI ke Saudi menjadi sangat wajar untuk dilakukan dan kalau juga tidak membaik maka perlu penghentian permanen.

Atas kasus Ruyati itu, katanya, Komisi IX DPR sesegera mungkin memanggil Menakertrans Muhaimin Iskandar dan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat terkait kasus Ruyati dan persoalan TKI di Arab Saudi.

DPR, katanya, juga akan meminta klarifikasi dari Kementerian Luar Negeri termasuk Duta Besar RI untuk Arab Saudi

Gatot Abdullah Mansyur menyangkut masalah itu.


Berduka cita

Keluarga Ruyati binti Satubino di Bekasi sangat terpukul dan berduka cita amat mendalam, tak kuasa menerima kenyataan tersebut.

Kepala Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) Jakarta Delta yang ditugaskan Jumhur untuk memberi santunan uang duka menggambarkan bahwa keluarga almarhumah Ruyati hanya menginginkan Ruyati pulang ke rumah dan berkumpul bersama mereka.

Bahkan mereka menolak uang duka yang ingin diserahkan oleh Delta.

"Suasananya tidak kondusif," kata Tenaga Profesional Kepala BNP2TKI Bidang Pengembangan Komunikasi Publik Mahmud F Rakasima.

Untuk itu Jumhur akan langsung menemui keluarga Ruyati pada Senin (20/6) untuk menyampaikan belasungkawa dan menjelaskan peristiwa itu sekaligus menjelaskan baha dia sudah meminta perusahaan yang memberangkatkan dan pihak asuransi memenuhi santunan dan klaim asuransi korban.

Atas eksekusi terhadap Ruyati itu, Kepala BNP2TKI sangat berduka cita.

"Kami menyampaikan duka cita mendalam kepada keluarga atas hukuman mati terhadap almarhumah," kata Jumhur.

Ia mengaku sangat prihatin dan menyesalkan pelaksanaan hukuman mati tersebut.

"Kami sudah berusaha tetapi belum mampu menembus rigiditas sistem hukuman mati di Saudi," kata Jumhur.

Dalam persidangan, katanya, Ruyati dengan gamblang mengakui membunuh setelah bertengkar karena keinginannya untuk pulang tidak dikabulkan.

Pihak Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Jeddah, katanya, telah meminta akses seluas-luasnya kepada Kementerian Luar Negeri Arab Saudi dan fasilitas pendampingan terhadap Ruyati melalui dua buah nota diplomatik.

Pihak KJRI mendampingi Ruyati dalam dua kali persidangan di Mahkamah Am (tingkat I) pada 3 dan 10 Mei 2010.

Namun Mahkamah Tamyiz mengesahkan putusan hukuman mati dengan cara dipancung (qishas) pada 14 Juli 2010 dan Mahkamah Agung Arab Saudi menguatkan putusan itu, katanya.

Pihak KJRI, katanya, juga telah mengupayakan pemaafan dari ahli waris korban melalui Lembaga Pemaafan agar Ruyati tidak dihukum mati namun gagal.

Terakhir Kerajaan Saudi memerintahkan pelaksanaan hukuman pancung atas permohonan ahli waris korban.


Jangan memaksakan

Kepala BNP2TKI mengingatkan bagi para calon TKI yang ingin bekerja ke Arab Saudi sebaiknya jangan memaksakan diri kalau memang belum siap segala-galanya, baik fisik, keterampilan, bahasa, budaya bahkan mental.

Persiapan yang matang sebelum bekerja di Arab Saudi, katanya, bisa menghindari dari berbagai masalah di sana.

Jumhur meminta masyarakat jangan mengaitkan peristiwa tersebut dengan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Konferensi Organisasi Buruh Sedunia (ILO) di Jenewa, Swiss, baru-baru ini.

Karena, kata Jumhur, perbaikan atas masalah ketenagakerjaan terus dilakukan termasuk dengan Arab Saudi yang bersama RI telah menandatangani pernyataan kehendak bersama akhir Mei lalu termasuk rencana penandatanganan nota kesepahaman (MoU) pada tahun ini.

"Hukuman mati atas Ruyati lebih pada peristiwa pidana dibanding peristiwa perselisihan perburuhan," katanya.

Namun kasus Ruyati ironis bagi bangsa Indonesia.

Betapa tidak, akhir pekan ini, bangsa Indonesia mendapat kabar duka atas kematian Ruyati padahal beberapa hari sebelumnya pujian atas bangsa Indonesia terdengar tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato pada Konferensi Organisasi Buruh Sedunia (ILO) ke-100 di Jenewa, Swiss, tentang perlindungan tenaga kerja yang mendapat sambutan luar biasa dari peserta konferensi.(*)
(T.B009/Z002)

Oleh Budi Setiawanto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011