Perlu didalami juga motif ASN tersebut mengajukan gugatan ambang batas pencalonan presiden agar tidak menjadi preseden pada masa depan.
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang meminta Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) mendalami motif seorang aparatur sipil negara menggugat UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan presidential threshold.

Ia juga meminta Kemenpan RB tegas menegakkan aturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN ketika ada seorang ASN yang sudah ikut secara terang benderang "bermain" ke dunia politik.

"Perlu didalami juga motif ASN tersebut mengajukan gugatan presidential threshold (ambang batas pencalonan presiden) agar tidak menjadi preseden pada masa depan," kata Junimart di Jakarta, Rabu.

Junimart menilai hak setiap orang untuk mempergunakan hak hukumannya apabila yang bersangkutan memiliki kepentingan konkret dalam mengajukan gugatan hukum.

Namun, terkait dengan langkah seorang ASN yang menggugat presidential threshold di MK, lanjut dia, harus ditelisik dalam rangka kepentingan apa mengajukan gugatan tersebut.

"Menurut saya perlu ditelisik dalam rangka kepentingan apa yang bersangkutan mengajukan gugatan tersebut karena secara undang-undang, seorang ASN dilarang masuk ke ranah politik," ujarnya.

Hak politik yang bersangkutan, menurut dia, bisa digunakan ketika terkait dengan statusnya sebagai ASN terganggu dan merugikan terhadap kedudukannya sebagai ASN.

Baca juga: Diaspora Indonesia di 12 negara gugat ambang batas 20 persen

Baca juga: Pakar hukum tata negara sebut presidential threshold sesuai UUD 1945


Junimart mempertanyakan apakah dengan adanya ambang batas pencalonan presiden yang diatur dalam UU Pemilu menyebabkan status ASN yang bersangkutan menjadi terganggu.

Sebelumnya, seorang aparatur sipil negara (ASN) menggugat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan ambang batas pencalonan presiden.

"Pemohon mengajukan pengujian Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terhadap Pasal 6A ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945," kata pemohon yang diketahui bernama Ikhwan Mansyur Situmeang mengutip dari laman resmi MK di Jakarta, Selasa (4/1).

Ikhwan Mansyur berharap majelis hakim dapat mengabulkan gugatannya meskipun beberapa putusan MK telah menolak permohonan pemohon sebelumnya yakni mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, mantan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Rizal Ramli, dan Abdulrachim Kresno.

Dalil permohonan gugatan yang dilayangkan oleh ASN pada hari Senin (3/1) tersebut diketahui berbunyi dalam permohonan a quo, pemohon berfokus pada "ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau disebut juga sebagai presidential threshold ditolak berbagai elemen bangsa".

Pemohon juga menyebutkan permasalahan pokok permohonan Pasal 222 UU No. 7/2017 tentang Pemilu yang berbunyi "pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen, dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR sebelumnya".

Baca juga: Anggota DPR: PT 0 persen berpotensi hilangkan keserentakan pemilu

Baca juga: PKB: Penurunan "presidential threshold" dapat cegah politik identitas


Oleh karena itu, pemohon mendalilkan Pasal 222 UU No. 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

Pasal 6A ayat (2) berbunyi pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

Dalam permohonan pemohon juga disebutkan bahwa ketentuan presidential threshold tidak tepat digolongkan open legal policy.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022