Jakarta (ANTARA News) - Pakar Hukum Pidana Yenti Garnasih mengatakan, Badan Intelijen Negara (BIN) perlu mendapat kewenangan lebih dalam mencegah, menangkal dan menanggulangi segala ancaman keamanan negara.

"Dari sekian ancaman yang ada, dipandang perlu untuk menambah kewenangan yang lebih, dalam kaitannya dengan isu separatisme dan terorisme, yakni penangkapan dan penahanan dalam rangka interogasi terhadap orang yang diduga terlibat," kata Yenti dalam diskusi publik masalah RUU Intelijen "Kenapa UU Intelijen Diperlukan?", di Auditorium Adhyana, Wisma ANTARA, Jakarta, Rabu.

Namun, lanjut dia, masih terjadi pro dan kontra tentang kewenangan aparat Intelijen dalam hal penangkapan dan penahanan karena dikhawatirkan akan terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

"Perlu ada aturan yang jelas tentang kewenangan lebih kepada BIN agar tidak melanggar HAM," kata Yenti.

Oleh karena itu, pakar hukum pidana Universitas Trisakti Jakarta itu menegaskan perlunya UU yang mengatur intelijen, seperti RUU Intelijen yang saat ini masih dibahas di DPR.

Menurut dia, tingkatan aturan tentang intelijen jangan berada di bawah UU atau dalam bentuk keppres, perpres, tapi perlu dibuat sebuah undang-undang agar tidak disalahgunakan oleh penguasa, baik untuk kepentingan politiknya maupun lainnya.

"Ini bahaya," kata Yenti seraya mengatakan saat ini muncul wacana keberadaan UU intelijen termotivasi untuk kepentingan menghadapi Pemilu 2014.

Menurut dia, masukan dan diskusi publik masih harus dilakukan untuk menghasilkan produk UU yang kuat dan cermat, sehingga semua kekhawatiran masyarakat akan terjadinya pelanggaran HAM, tidak ada tindakan yang kebablasan dan mencekal kebebasan pers.

Yenti menambahkan, tugas dan fungsi intelijen sebagai pengumpul informasi secara rahasia, di mana sumber informasi itu berguna untuk mempertahankan dan melindungi suatu negara terutama berkaitan dengan terjaminnya tujuan negara harus diatur dengan cermat.

Selain Yenti, pembicara pada diskusi publik tersebut adalah Dirjen Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM Wahidudin Adam, Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq, anggota Komisi I DPR Teguh Juwarno, serta mantan Kepala Staf Umum TNI Letjen TNI (Purn) Soeyono.
(S037)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011