Ini gila, kalau menurut saya!"
Jakarta (ANTARA News) - "Ini sudah bukan masalah utang lagi. Intinya sekarang, nyawa seseorang hilang," kata Slamet Youno, kuasa hukum keluarga Irzen Octa, seperti dikutip Kompas.com pekan lalu.

Irzen adalah debitor kartu kredit yang secara tragis tewas setelah mendapat tekanan di satu kantor bank --sebuah kantor!-- kepada mana korban berutang.

Tak penting Irzen meninggal dunia karena tekanan psikologis atau fisik, faktanya dia meninggal dunia di sebuah kantor di mana seharusnya bukan tempat nyawa seseorang dihilangkan, apapun alasannya. 

Belum ada yang meminta maaf atas kejadian ini. Sungguh ironis dan mengerikan, sekaligus mungkin meneror publik. 

Jika kasus ini menguap seperti yang sudah-sudah, maka ini akan menebalkan ironi di negeri ini bahwa siapapun yang memiliki kuasa tak akan bisa disentuh hukum. Padahal sejak SD, anak-anak negeri ini dicekoki oleh kalimat sakti bahwa negara ini adalah negara yang menjunjung "supremasi hukum."

Lalu, bagaimana masyarakat menghadapi fakta ini?

"Nasabah terjerat utang, bukan dibantu menyelesaikan, malah dianiaya hingga tewas. Terus banknya tak tanggung jawab, ini gila, kalau menurut saya!" kata Erfan Rahardian Erlangga (33), karyawan swasta di kawasan Senayan Jakarta.

Setelah kasus ini, Erfan yang juga memiliki kartu kredit mengaku tak lagi menggunakan kartu kredit. Dia takut apa yang terjadi pada Erzan akan menimpanya pula. 

Sikap Leny Setiawati (41), pebisnis ritel, masih lebih moderat ketimbang Erfan. Perempuan paruh baya ini menilai kartu kredit itu amat membantunya dalam berbisnis.

Namun, mendapati fakta seorang debitor tewas karena soal utang, orang-orang seperti Leny pun jatuh khawatir, apalagi dia juga terusik oleh maraknya kejahatan kartu kredit.

"Bank yang memiliki reputasi baik saja begitu sama nasabah, apalagi yang tidak," katanya.

Leny lalu memberi kiat bagaimana mengelola kartu kredit yang benar agar persoalan-persoalan seram menyangkut tunggakan tidak dialami pemegang kartu kredit.

"Kita harus mengukur diri. Jika hanya terbawa tren, apalagi untuk gaya-gayaan, lebih baik urungkan saja niat Anda karena dibalik penawaran yang memudahkan itu ada banyak hal yang tidak diberi tahu pihak bank," katanya.

Para pemegang kartu kredit memang umumnya mengatakan penerbit kartu kredit memang acap tak menjelaskan skenario buruk jika debitor menunggak tagihan dan bagaimana berurusan dengan penagih hutang.

Persoalan ini juga dikeluhkan Dedy Sucipto (29), konsultan IT pada satu perusahaan di Jakarta. Dedy menganggap, memiliki kartu kredit sama dengan terjerat utang yang tidak tahu kapan selesainya.

"Tak ada jaminan dari bank bahwa kartu kredit itu seperti ketika mereka pertama kali tawarkan. Kalau sudah ada masalah kita tak tahu harus mengadu kemana soalnya bank terkesan hanya mencari keuntungan semata dari ketidaktahuan nasabah," kata Dedy.

Kartu setan

Banyak orang yang merasa amat terbantu oleh kartu kredit, tetapi banyak juga yang menjadi berbalik merasa terjerat.

"Kartu kredit itu kartu setan, dari luar terlihat memudahkan, tapi ketika kita sudah punya, barulah rasa dihantui utang itu muncul," kata Hadi Susilo (43), karyawan swasta di kawasan Senayan, Jakarta Selatan.

Kepada ANTARA News, Hadi berbagi pengalaman saat pertama kali menggunakan kartu kredit setahun lalu. Di sebuah mal di Jakarta tahun lalu, Hadi ditawari kartu kredit oleh sales bank. 

Hadi tergolong konsumen kritis sehingga ketika mengetahui layanan yang ditawarkan bank tidak sesuai dengan kenyataan, dia pun bereaksi. Dia merasa dibohongib setelah berhitung bunga yang dikenakan bank untuk setiap transaksi kartu kredit yang dia gunakan. Ternyata basis pengenaan bunganya adalah bukan per bulan, tapi harian.

"Pantas saja utang saya terus-terusan nambah, padahal saya hanya dua kali bertransaksi," ujarnya.

Sebenarnya banyak yang sudah tahu bahwa pada kartu kredit itu, bunga yang ditetapkan adalah tak saja pada pokok pinjaman, tapi juga pada bunganya sendiri. Singkatnya, bunga berbunga.

Dari sekian banyak yang menyadari risiko memegang kartu kredit, Desi Natalia adalah salah satunya. Karyawati swasta berumur 29 tahun ini mengungkapkan, kartu kredit itu banyak gunanya, tapi harus selektif menggunakannya.

Yang perlu dingat, katanya, memiliki kartu kredit adalah berarti sadar akan kewajiban membayar tagihan dan bunganya.

Kata Desi, orang acap berubah irasional dengan terus bertransaksi akibat iming-iming bunga rendah, selain juga cara yang salah menggunakan kartu kredit.

"Saya sih hati-hati. Bagi saya kartu ATM adalah yang paling aman dan bisa saya kendalikan penggunaannya," kata Desi.

Pernyataan senada disampaikan Nilam Effendi.  Ibu rumah tangga berumur 55 tahun ini mengatakan orang perlu lebih dulu memahami sebelum menggunakan kartu kredit, termasuk siap menghadapi segala kemungkinan tak diduga. 

Was-was

Tapi tetap saja, kematian Izren membuat konsumen kartu kredit yang melek seperti Desi dan Nilam was-was. Bukan khawatir soal utang piutang, tapi model penanganan tagihan yang brutal itu.

"Saya sebagai rakyat biasa jadi was-was melihat hal itu," kata Febri Naiggolan (31), wirausahawan otomotif di Radio Dalam, Jakarta Selatan.

Febri mengungkapkan, kasus Irzen telah membuka tabir pelayanan kartu kredit yang buruk dan mengerikan. "Bayangkan bank sekelas Citibank bisa berbuat seperti itu kepada nasabahnya," sambung Febri.

Riska Wulansari (27) malah berasa heran. Di tengah kasus Irzen, karyawati perusahaan swasta ini melihat bank-bank malah kiann agresif menawarkan kartu kredit seolah menutup mata atas kasus Irzen.

"Dua hari lalu saya sempat ditawari kartu kredit di sebuah mal di kawasan Pejaten. Saya justru makin takut," kata Riska.

Sama seperti Rika, bagi Nilam Effendi, kasus Citibank memberinya peringatan bahwa ada ancaman serius yang mengintai dibalik kemudahan yang ditawarkan kartu kredit.

"Di era modern seperti sekarang ini ternyata banyak hal yang disembunyikan perbankan kepada nasabahnya, saya sangat berterima kasih kepada media yang mengungkap kasus Citibank," kata Nilam. 

Karena hampir semua orang mengingingkan penjelasan terang atas sebuah pelayanan sehingga mereka terlindungi, tampaknya Indonesia perlu memperbaiki aturan dalam soal kartu kredit.

Sekadar perbandingan, begitu dihantam krisis finansial tiga tahun lalu, AS dibawah Presiden Barack Obama mengambil langkah drastis, mengatur kembali kerja perbankan, diantaranya mereformasi sistem perlindungan nasabah bank.

Karena krisis finansial  itu diantaranya bermula dari kredit kredit konsumtif jor-joran, maka salah satu yang dibidik pihak berwenang AS adalah jasa kartu kredit. Mereka, seperti dikutip majalah Time edisi Online, menyerang para penerbit kartu kredit seperti Bank of America, Citibank, JP Morgan Chase, Capital One dan American Express.

Para penerbit kartu kredit itu  diserang karena terus mengenakan bunga ketika pemegang kartu kredit tak lagi bisa membayar tagihan.

"Warga Amerika tak pantas dijerumuskan kepada ekonomi yang timpang oleh perusahaan-perusahaan kartu kredit. Ini salah, tidak adil, dan harus diakhiri," kata Kepala Komisi Perbankan Senat, Chris Dodd.

Seorang parlementaris lain mengimbuhkan, "Para penerbit kartu kredit terus berupaya menemukan cara terbaik dalam memperdaya orang. Ini tak bisa diterima."

Apa ya reaksi AS jika mereka mendapati fakta seorang debitor mati di kantor penerbit kartu kredit? Kita tak akan tahu, namun otoritas AS tak akan pernah menganggap enteng kematian tak wajar seseorang.

Indonesia pun tampaknya demikian, apalagi mengutip kalimat pengacara Irzen di atas, persoalan Irzen bukan lagi soal utang, tapi "hilangnya nyawa seseorang." (*)

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011