Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama Muhaimin Lutfi mengatakan, sejak lama para ulama sudah mengingatkan bahwa perkawinan tak semata menyatukan pasangan cucu Adam dan Hawa untuk sesaat.

Sejatinya, setiap pasangan menghendaki kebahagian dalam perkawinan yang akan dijalaninya. Sebagian ulama berpendapat, selain perlu mencek bibit, bebet dan bobotnyan, calon pengantin pun harus dicek kondisi fisiknya.

Hanya saja, kata Muhaimin, kebanyakan orang tak melakukanya. Tapi caranya harus beretika dan berakhlak sehingga tak membuat orang tersinggung.

Misalnya, kata dia, bila calon pengantin meragukan jenis kelamin pasangan hidupnya, maka pihak ketiga bisa digunakan untuk mencek jenis kelamin pasangannya itu.

Pernyataan ini dikaitkan Muhaimin kepada kasus pemalsuan identitas pengantin di Bekasi yang ramai dikupas media.

Fransisca Anastasya (19) alias Icha yang kemudian diketahui seorang pria bernama asli Rahmat Sulistyo, telah menikah dengan Muhammad Umar (32). Muhammad Umar tidak tahu kalau istrinya, Icha, yang sudah dinikahinya sejak enam bulan lalu itu ternyata laki-laki.

Setelah mengetahui istrinya bukan perempuan, Muhammad Umar melapor kepada polisi.

Belakangan diketahui bahwa dari hasil pemeriksaan polisi Selasa awal April lalu (5/4) di Polda Metro Jaya, secara psikologis Friska Anastasya Octaviany secara kejiwaan tak bermasalah.

Hanya saja, menurut Kapolsektro Jatiasih, AKP Darmawan Karosekali di Polsektro Jatiasih Jumat (8/4), orientasi seksualnya saja yang berubah-ubah,

Menurut Muhaimin, memang ada wanita yang memiliki kelamin yang disebut "rataq" dan ini terjadi akibat kelainan biologis sejak lahir.

Bisa saja, setelah pihak ketiga memeriksanya, diketahui bahwa wanita itu "rataq". Lalu, calon pasangannya menolak menikahinya.

Wanita juga bisa

Seperti juga lelaki, perempuan pun memiliki hak sama jika meragukan calon pengantinnya. Calon pengantin perempuan bisa meminta calon suaminya diperiksa, apakah jantan atau tidak.  Bila ditemui tak sehat, seperti impoten, perempuan bisa menolak untuk dinikahi si pria.

Namun, jelas Direktur Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama Prof Dr Machasin MA, pernikahan anak cucu Adam dan Hawa harus pula memperhatikan kultur yang berkembang di tiap daerah.

Di Pulau Jawa misalnya, berkembang kearifan lokal bahwa untuk mempertemukan dua insan menjadi pasangan suami-isteri harus mengindahkan petuah orang tua, yaitu petuah memahami terlebih dahulu bibit, bebet dan bobot.

Petuah ini hingga kini masih digunakan dan bahkan etnis lain di luar Jawa menggangap ajaran ini masih aktual untuk diimplementasikan meski tak terang-terangan dinyatakan di muka umum.

Arti bibit adalah rupa (harafiah: asal-usul, keturunan atau bibit pula seperti dalam bahasa Indonesia). Bebet adalah keluarga, lingkungan, dengan siapa rekan sekitarnya. Bobot adalah nilai pribadi sang pasangan, termasuk kepribadian, pendidikan, kepintaran, pekerjaan, gaya hidup dan iman.

Machasin menyatakan sependapat dengan penjelasan Muhaimin Lutfi. Biasanya, kata Machasin, sebelum pernikahan biasanya kedua belah pihak menelaah aspek 5 As.

As pertama adalah waras (sehat, jasmani rogani), lalu beras (kemampuan ekonomi), kemudian bergas (tak loyo), setelah itu terbinas (profesional), dan terakhir keras (punya senjata keras untuk" bertempur").

Sederhana memang, tapi percayalah soal ini masih sangat diperhatikan dalam kehidupan.

Hanya dokumen

Mengomentari kasus pemalsuan dokumen dalam pernikahan sesama jenis di Bekasi, Jawa Barat, baru-baru ini, Menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan bahwa seorang penghulu memang tidak berwenang mengecek keadaan fisik calon pengantin, termasuk memastikan jenis kelaminnya.

Di negeri ini, tak ada aturan seorang penghulu mesti memeriksa fisik calon pengantin, apalagi melihat secara fisik sampai detail kedua calon mempelai, kata Suryadharma Ali di Kupang, belum lama ini.

Kasus pemalsuan identitas dalam pernikahan pasangan sesama jenis oleh Fransisca Anastasya (19) yang ternyata seorang pria bernama Rahmat Sulistyo, menurut Suryadharma, jelas di luar jangkauan penghulu.

"Yang berwenang mengecek secara fisik jenis kelamin calon pengantin adalah keluarga dari kedua mempelai," katanya.

Menurutnya, tanggung jawab seorang penghulu adalah memeriksa kelengkapan administrasi, tidak melakukan cek fisik, apalagi sampai mendata, jenis kelamin sebenarnya para pengantin.

"Itu di luar tanggung jawab penghulu," kata Suryadharma diiringi derai tawa.

Suryadharma mengingatkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga sakinah, mawadah dan warohmah.

Untuk itu, baik calon pengantin pria maupun wanita mesti waspada, karena tujuan pernikahan tak akan terwujud jika kedua pasangan punya jenis kelamin yang sama.

E001/A011

Oleh Edy Supriatna Sjafei
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011