Jakarta (ANTARA News) - PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II mengisyaratkan untuk tidak berpartisipasi atau ikut tender pembangunan Pelabuhan Baru di Tanjung Priok yakni Kalibaru.

"Saya mempertimbangkan untuk tidak ikut tender Kalibaru," kata Dirut PT Pelindo II, R.J. Lino saat tampil pada "Maritime Talk" bertema "Tantangan dan Peluang Bisnis Kepelabuhanan Pasca Pemberlakuan UU 17/2008 tentang Pelayaran di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, rencana Pembangunan Pelabuhan baru di Priok, Kalibaru, tidak terlalu jelas karena dalam rencana induk Pelabuhan Priok yang baru, justru ada jembatan penghubung antara daratan di Priok dengan Pelabuhan Kalibaru.

"Herannya lagi, Pelindo II sebagai stakeholder terbesar di Priok, sampai sekarang minta ke Kementerian Perhubungan, tetapi belum dikasih," katanya dalam seminar yang diselenggarakan Perum LKBN ANTARA.

Sebelumnya, Menteri Perhubungan Freddy Numberi mengatakan, rencana induk Pelabuhan Priok yang baru sudah ditandatangani pekan lalu dan kini sedang dalam proses untuk jadi Keputusan Menteri.

"Di dalam rencana induk itu, Priok akan ditopang dengan pengembangan pelabuhan baru seperti di Cilamaya, Marunda dan Bojonegara serta Kalibaru," katanya.

Kementerian Perhubungan sendiri akan menenderkan Pelabuhan Kalibaru dalam satu atau dua bulan ke depan.

Tender tahap pertama, akan dibangun Kalibaru tahap pertama seluas 77 ha senilai Rp8,8 triliun.

"Lahannya murni reklamasi," kata Dirjen Perhubungan Laut, Sunaryo beberapa waktu lalu.

Lino juga menyayangkan dalam rencana induk tersebut, ada pengembangan pelabuhan selain Priok yakni Bojonegara untuk pelabuhan curah. "Bojonegara ini hasil rekomendasi studi JICA 2003 dan jelas-jelas salah," katanya.

Menurut Lino, arus bongkar muat di Pelabuhan Priok selama ini sekitar 80 persen berasal dari kawasan timur Jakarta (Bekasi dan sekitarnya), sekitar 10 persen dari Selatan Jakarta dan 10 persen lainnya dari barat Jakarta.

"Jadi, kalau dibangun Bojonegara yang nota bene harus melalui Jakarta atau 100 km lebih dari Bojonegara, sangat tidak efisien. Bagaimana mungkin, biaya logistiknya bisa ditekan?," katanya.

Pada bagian lain, Lino mengakui, daya saing seluruh pelabuhan Indonesia dari dulu hingga sekarang tidak pernah berubah dan tidak efisien.

"Dari dulu, pelabuhan di Indonesia itu hanya dermaga yang menjorok ke laut tanpa ada alat bongkar muat, tetapi yang ada alatnya dibawa kapal," katanya.

Akibatnya, biaya logistik di pelabuhan Indonesia, sangat tinggi dan tidak efisien dibanding negara lain. "Kapal-kapal di Indonesia lebih banyak di pelabuhan," katanya.

Padahal, 95 persen semua distribusi barang di tanah air dilakukan melalui angkutan laut, tetapi perhatian pemerintah tidak terkonsentrasi di sektor ini.

Anehnya, hingga saat ini, tambah Lino, biaya bahan bakar kapal di Indonesia paling mahal di dunia, sementara angkutan darat paling murah di dunia. "Harga fuel untuk kapal di Indonesia rata-rata MOPs ditambah 113 dolar AS," katanya.

Untuk itu, tidak heran jika harga angkutan laut (freight) Jakarta-Singapura hanya 185 dolar AS, sedangkan Padang-Jakarta 600 dolar AS.

"Akibatnya harga semen di Papua 20 kali lebih mahal dibanding di Jawa, harga jeruk impor China jauh lebih murah ketimbang jeruk Pontianak di Jakarta," katanya.
(E008)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011