Magelang (ANTARA) - Para seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, bersama para seniman jejaringnya dari sejumlah daerah mengenang penyair W.S. Rendra melalui pembacaan karya-karyanya di panggung Studio Mendut, sekitar 300 meter timur Candi Mendut, Minggu.

Dalam acara tersebut juga diresmikan patung berbentuk lingga-yoni kontemporer karya seniman dari kawasan Gunung Merapi Ismanto yang diberi judul "Rendra Menyetubuhi Zaman".

"Patung ini simbol jiwanya yang menyetubuhi zaman. Karya (patung, red.) ini dibuat terkait empat mata angin, gambaran jagat bagaimana Rendra bisa masuk ke jagat apa pun, menguasai setiap rongga, reinkarnasi di banyak bentuk menjadi jiwa-jiwa orang, masuk ke pori-pori, moka di air, kayu, batu, udara," kata Ismanto ketika berbicara soal patung batu itu.

Penyair Indonesia Willibrordus Surendra Broto lahir pada 7 November 1935 dan wafat pada 6 Agustus 2009. Salah seorang tokoh Komunitas Lima Gunung yang berguru kepenyairan dari Rendra, Lie Thian Hauw (Haris Kertorahardjo), menggagas acara itu bertepatan dengan hari kelahiran sang penyair.

Selain bercerita tentang bagaimana Haris belajar membuat karya puisi dan membaca puisi, ia juga membacakan salah satu karya puisi cukup panjang Rendra berjudul "Khotbah", diiringi performa gerak oleh Ismanto dan penari Lyra de Blaw.

"Dia (Rendra, red.) banyak ngajarkan saya menulis puisi. Kegemaran saya terhadap dunia matematika membuat hampir puisi-puisi saya bertema matematika, tetapi tentang bagaimana menghitung perasaan, emosional, kebijaksanaan, tidak ngetung (menghitung) angka, tetapi matematika kehidupan," ujarnya.

Ia menyebut perjalanan cukup panjang dengan Rendra, selain sebagai peristiwa penting dalam jalan kepenyairannya, juga membuatnya paham tentang pentingnya tertib menjalani latihan-latihan.

Budayawan yang juga pendiri Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut mengemukakan tentang kepenyairan Rendra sebagai bagian kekuatan "pena" pada masanya.

"Sastrawan dulu mungkin kuno, tetapi sekarang pena sudah tidak tajam-tajam, karena hanya menjadi pelepasan kesepian, untuk bikin akun (media sosial, red.) ramai. Sekarang kita sama-sama menikmati pena sedang tidak tajam, tapi hanya ngisi kekosongan batin," katanya.

Ia mengemukakan pentingnya usaha-usaha mengingatkan kembali terhadap karya-karya Rendra dan karya sastra Indonesia.

"Manusia dan sastra makin penting justru saat ini, ketika setiap orang berkata tanpa emosi dan rasa," ucapnya.

Ia juga menyebut beberapa kali kehadiran Rendra dalam agenda tahunan seni budaya Komunitas Lima Gunung, yakni Festival Lima Gunung yang tahun ini sebagai penyelenggaraan ke-20 tahun.

Hadir pada acara untuk mengenang Rendra itu, antara lain para seniman, penyair, penikmat seni, budayawan, baik di Magelang maupun sejumlah daerah di sekitarnya. Mereka membacakan karya-karya Rendra dan puisi-puisi terkait dengan sang penyair itu.

Penyair Wicahyanti Rejeki bersama Keina membacakan puisi berjudul "Gugur", Novi (Nyanyian Adinda Untuk Saijah), Nindito (Tidak Ada Judul), Tentrem Lestari (Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia), Joko Koentono (Surat Cinta), Wulan (Sagu Ambon), dan Lyra berkolaborasi bunyi dengan Ismanto membacakan puisi berjudul "Kalangan Ronggeng".

Saat waktu menjelang maghrib, tiga penyair berkolaborasi membacakan puisi dengan judul berbeda-beda, masing-masing Gepeng Nugroho (Sajak Rajawali), Es Wibowo (Dhandanggula Pujangga), dan Kholilul Rohman Ahmad atau Gus Kholil (Episode), sedangkan Munir Syalala menyuguhkan musik puisi berjudul "Nyayian Suto utk Fatima".

Joko Koentono menyebut Rendra lebih dari sekadar sastrawan dan pujangga, akan tetapi begawan.

"'Statement-statement' (pernyataan) Mas Willy di media menunjukkan beliau begawan yang memberi makna, meletakkan dasar pikiran, teknikal, berani berada di depan, menyediakan gagasan besar menjadi dasar-dasar pikiran dan tindakan sangat jauh," katanya.

Budayawan asal Pati Anis Sholeh Ba’asyin (Gus Anis) mengemukakan perlunya sosialisasi secara berkelanjutan atas banyak karya Rendra karena maknanya yang penting dan aktual untuk zaman seperti sekarang ini, antara lain menyangkut patriotisme, balada realisme magis, dan sajak pamflet.

"Kita tidak pernah menempatkan kebudayaan sebagai panglima dalam kebangsaan, sekarang orang bangga medsos (media sosial). Kita dari waktu ke waktu akan terdegradasi kalau pakai pola seperti ini. Kebudayaan adalah mengabadikan dari generasi ke generasi," ujar penggagas acara "Ngaji NgAllah Suluk Maleman" itu.

Pewarta: M. Hari Atmoko
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021