Kalau kita lihat di Amerika Serikat, energi baru terbarukan (EBT) hanya 12 persen pada 2020. Kalau Inggris sudah lama pakai fosil, mereka sudah 400 tahun pakai batu bara sejak era revolusi industri
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menyarankan agar pemerintah Indonesia bisa memetik pelajaran dari Inggris yang kini kembali menggunakan PLTU batu bara untuk mengatasi krisis energi.

“Kalau kita lihat di Amerika Serikat, energi baru terbarukan (EBT) hanya 12 persen pada 2020. Kalau Inggris sudah lama pakai fosil, mereka sudah 400 tahun pakai batu bara sejak era revolusi industri,” ujarnya dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Rabu.

Komaidi mengungkapkan krisis energi telah melanda Inggris dan beberapa negara Eropa pekan ini. Kondisi itu menyadarkan mereka untuk tidak sepenuhnya mengandalkan dan bergantung pada EBT, terutama harga gas meroket 250 persen akibat keterbatasan pasokan.

Sejauh ini teknologi batu bara akan tetap menjadi energi yang dominan di pembangkit listrik Indonesia.

Komaidi melihat pemerintah akan berpikir realistis untuk menggunakan energi yang termurah, sehingga Indonesia perlu berhati-hati menyikapi masalah transisi energi karena energi baru terbarukan bisa dikembangkan tetapi belum kompetitif.

Menurutnya, sekalipun menggunakan batu bara, PLTU saat ini sudah pakai teknologi maju di antaranya PLTU ultra super critical (USC) yang bisa dihitung biaya produksinya.

“EBT sebagai pelengkap, bukan pengganti. Kalau diibaratkan makanan di meja, EBT itu ibarat sambal, bukan nasi. Hal ini sejalan dengan yang dituangkan Rencana Umum Energi Nasional dimana 2050 konsumsi fosil masih besar dan EBT hanya 23 persen maksimal,” terang Komaidi.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno menilai perubahan dari pemanfaatan fosil menjadi energi terbarukan harus melalui proses kerja keras dan konsisten agar kebijakan target netralitas karbon tercapai pada 2060.

Menurutnya, penggunaan pembangkit batu bara memang masih diperlukan hingga kini.

"Untuk saat ini (peralihan ke EBT) memang membutuhkan waktu, tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan," kata Eddy.

Lebih lanjut dia mengingatkan bahwa Indonesia juga harus memiliki peta jalan energi hijau untuk 30 tahun mendatang sebagai target netralitas karbon energi. Pemerintah diminta untuk mendesak negara maju yang menyatakan pelarangan emisi karbon.

Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Energi Watch Mamit Setiawan yang menyatakan bahwa transisi energi menuju terbarukan pasti akan terjadi mengingat sudah banyak negara berkomitmen untuk menerapkannya. Namun, Indonesia saat ini belum bisa menerapkan energi baru terbarukan tersebut.

“Transisi energi pasti terjadi, tapi sesuaikan kondisi. Kita harus melihat kondisi bahwa kita banyak belum siapnya. Karena masyarakat kita belum siap membeli energi dengan harga mahal,” ucap Mamit.

Dia menguraikan, kemampuan ekonomi masyarakat terhadap harga BBM dan listrik yang tinggi masih rendah, belum lagi keuangan negara juga makin terbebani jika harga energi yang tersedia lebih mahal dari baru bara.

Sekarang, lanjut Mamit, harga energi baru terbarukan masih lebih mahal dibanding harga batu bara. Jika nanti skema tarifnya ditentukan oleh pemerintah, maka akan membebani PLN dan keuangan negara.

Dengan alasan-alasan tersebut, kata dia, apabila secara ekonomi belum terpenuhi sebaiknya pemerintah tidak perlu terburu-buru beralih ke energi baru terbarukan.

“Kita harus sabar dan melihat kondisi internal seperti apa, jangan terburu-buru nanti kejadian seperti Inggris. Pembangkit listrik batu bara kita dihancurkan, tapi tiba-tiba kekurangan bahan pasokan energi terbarukan," pungkas Mamit.

Baca juga: Aktivis sambut komitmen China hentikan pendanaan PLTU batu bara
Baca juga: IESR: Kebijakan pensiunkan PLTU batu bara untuk dukung dekarbonisasi
Baca juga: PLN fokus beli batu bara pemilik tambang dan kontrak jangka panjang

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021