Bantul (ANTARA) - Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Polisi Agus Andrianto mengatakan bahwa pabrik obat keras dan berbahaya tidak berizin yang digerebek polisi di Daerah Istimewa Yogyakarta, diperkirakan mampu mendapatkan omzet sebesar Rp2 miliar per hari.

"Kalau produksinya dua juta butir pil per hari saya kurang tahu harga pastinya berapa, tapi kalau misalnya asumsi satu butir seribu, kalau dua juta butir berarti Rp2 miliar satu hari," kata Kabareskrim usai konferensi pers pengungkapan kasus peredaran gelap obat keras dan berbahaya di Yogyakarta, Senin.

Baca juga: Kabareskrim: Tersangka kasus peredaran obat keras akan bertambah

Menurut dia, produksi dua juta butir pil golongan obat keras dengan omzet Rp2 miliar itu berasal dari dua pabrik Ilegal yang digerebek polisi di Jalan IKIP PGRI Sonosewu, Desa Ngestiharjo Kasihan, Kabupaten Bantul, dan pabrik di Desa Bayuraden, Gamping, Kabupaten Sleman, DIY.

Salah satu pabrik obat keras yang berhasil diungkap jajaran Bareskrim Polri dan jajaran kepolisian kewilayahan tersebut sudah beroperasi sejak 2018, dan baru terungkap pada 2021 karena menurut Kabareskrim operasionalnya yang tertutup dan tidak memiliki izin.

"Kan mereka (operasional) sangat tertutup dan izinnya juga tidak ada, makanya peran serta masyarakat sangat perlu, kalau ada informasi terkait dengan situasi di sekelilingnya mohon diinformasikan kepada polisi terdekat," kata Kabareskrim.

Menurut dia, saat ini sudah ada 13 orang tersangka mulai pengedar, kemudian distributor yang diamankan dalam kasus peredaran gelap obat keras dan berbahaya jaringan Jawa Barat - DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta - Jawa Timur - Kalimantan Selatan tersebut.

Dari para tersangka, polisi telah menyita barang bukti lebih dari lima juta butir pil golongan obat keras jenis Hexymer, Trihex, DMP, Tramadol, double L, Aprazolam dari berbagai TKP penangkapan tersangka yaitu di Cirebon, Indramayu, Majalengka, Bekasi dan Jakarta Timur.

"Ini akan kami tindaklanjuti karena tidak menutup kemungkinan obat-obatan keras dan berbahaya ini sudah diedarkan di seluruh wilayah Indonesia, tentu dari 13 tersangka akan berkembang, karena nanti akan kita upayakan untuk membuka dari transaksi dan komunikasi yang mereka lakukan," katanya.

Menurut dia, pasal yang disangkakan kepada para tersangka yaitu Pasal 60 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja perubahan atas Pasal 197 UU RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp1,5 miliar.

Kemudian Sub Pasal 196 UU RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp1,5 miliar.

Lebih subsider Pasal 198 UU RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktek kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan denda paling banyak Rp100 juta.

Serta Pasal 60 UU RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara dan pidana denda paling banyak Rp200 juta.

Baca juga: Berkas kasus penimbunan obat COVID-19 dilimpahkan ke Kejaksaan

 

Pewarta: Hery Sidik
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021