Magelang (ANTARA News) -Penghargaan masyarakat kawasan Gunung Merapi terhadap air terpancar dari tembang "Tuk Mancur", yang dilantunkan dalam perayaan Natal yang diselenggarakan kalangan petani setempat.

Air adalah sumber kehidupan bagi warga Merapi. Begitu pentingnya air pascaletusan Merapi membuat perayaan Natal yang dipimpin Romo Gereja Paroki Santa Maria Lourdes Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Yohanes Maryono menyisipkan tembang berbahasa Jawa, "Tuk Mancur" karya petani setempat, Sibang.

Tuk Mancur setiap Natal selalu berkumandang di kawasan barat sekitar tujuh kilometer dari puncak Merapi, bertemali dengan syair pujian atas kelahiran Yesus Kristus 2010.

"Tuk mancur saka dhuwur, kabeh umat bisa makmur, Gunung Merapi kasuwur, ati tentrem wit ngaluhur, kamulyaning pangeran, pancen nyata tumrap bangsa," demikian refrain lagu yang dilantunkan umat secara gegap dengan iringan tabuhan sejumlah kenong, salah satu perangkat gamelan oleh beberapa anak petani setempat.

Syair tembang itu kurang lebih maksudnya, "Mata air memancar dari atas (Gunung Merapi), membuat semua warga hidup makmur. Merapi yang termasyur telah membuat hati warga tenteram. Kemuliaan Allah sungguh nyata untuk kehidupan Bangsa Indonesia".

Mereka menembangkan lagu itu saat Romo Maryono yang mengenakan pakaian adat Jawa dengan stola keimaman memimpin pemberkatan mata air yang mereka namai "Tuk Luwih" di Dusun Braman, Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun.

Pada perayaan itu Romo Maryono dampingi Dekan Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Romo Mateus Purwatmo.

Sejumlah petugas misa yang juga petani setempat mengenakan pakaian adat Jawa, demikian pula beberapa anak lain yang salah satunya membawa salib juga mengenakan pakaian serupa bertugas sebagai misdinar.

Sebagian besar umat baik tua, muda, anak-anak, laki-laki, maupun perempuan terlihat mengenakan caping saat perayaan Natal Petani Merapi 2010.

Perayaan Natal untuk kalangan petani setempat telah menjadi tradisi mereka selama sembilan tahun terakhir yang antara lain ditandai dengan pemberkatan mata air di berbagai tempat dan alat-alat pertanian.

Suasana terkesan eksotik di sekitar mata air di aliran kali kecil yang sejak lama disebut warga setempat sebagai Kali Kolah.

Romo Maryono mengambil air dengan menggunakan wadah kemudian memercikkan air itu ke seluruh bagian mata air dan memberikan sapuan dupa sebagai simbol wewangian di tempat itu saat pemberkatan "Tuk Luwih".

Hadir pada kesempatan itu antara lain Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) yang berkantor di Yogyakarta, Subandriyo, petugas pengamat Gunung Merapi di Pos Babadan, Kecamatan Dukun, Ismael, dan Kepala Desa Ngargomulyo, Yatin.

Peristiwa itu mendapat perhatian liputan berbagai media massa baik cetak, daring, maupun elektronika.

Pada kesempatan itu seorang sesepuh warga setempat, Mirat Siswoharjono (65), bercerita tentang sejarah mata air yang kini bernama "Tuk Luwih" itu.

Yatin mengatakan, air dari sumber itu tetap mengalir hingga saat ini. Letusan Merapi telah membuat sarana air bersih rusak, sehingga sebagian besar sumber air dari sejumlah alur sungai mengalami penurunan debit.

Air berasal dari "Tuk Luwih" setiap hari untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan pertanian masyarakat setempat. Tuk berarti sumber mata air sedangkan luwih artinya lebih.

"Airnya selalu mengalir termasuk saat kemarau. Letusan Merapi kemarin juga tidak berpengaruh terhadap sumber air itu," katanya.

Sejumlah umat dengan menggunakan tempayan membawa air dari sumber itu kemudian bersama semua peserta perayaan Natal Petani Merapi berjalan kaki menuju tanah lapang di dusun setempat untuk misa kudus yang mereka kemas secara kontemporer.

Mereka menjalani prosesi itu dengan berjalan kaki melalui jalan tanah dan jalan setapak berundak hingga ke jalan berasal di pusat desa setempat sambil menyanyikan lagu-lagu rohani Natal berbahasa Jawa.

Jarak yang mereka tempuh dari sumber air "Tuk Luwih" hingga lapangan setempat yang telah didirikan altar dengan latar belakang gambar Gunung Merapi sekitar 500 meter.

Di sisi kanan panggung dengan altar berdiri properti dari daun kepala berbentuk gunungan, sedangkan di depan altar selain terdapat sejumlah tanaman dalam pot dan sebuah kendi berbalut kain putih yang berisi air suci berasal dari "Tuk Luwih".

Umat duduk bersila di atas tikar yang digelar di bawah tenda di sisi kanan dan kiri altar.

Suasana di langit kawasan itu terlihat cerah, sedangkan Gunung Merapi juga terlihat elok dan indah dengan lingkaran awan putih berbentuk cincin di bagian puncak serta semburan asap solvatara dari puncaknya.

Romo Purwatmo memercikkan air suci ke puluhan alat pertanian dan beberapa ekor kambing yang diletakkan di tepi lapangan setempat.

Perayaan misa Natal Petani Merapi terkesan meriah di tanah lapang dengan terpaan sinar matahari siang itu. Mungkin setiap umat tak terbesit perkiraan bakal turun hujan karena sinar matahari terus berjaga.

Terkait dengan perayaan misa Natal itu, umat juga mengikuti sesi "Dialog Budaya Merapi Luwih" dengan moderator budayawan lereng Gunung Merapi, Romo Kirjito, dan pembicara antara lain Subandriyo, Mateus Purwatmo, Yatin, seniman Merapi Eko Sumartin dan seorang tokoh petani organik Merapi, Sugimin.

Kirjito menyebut letusan Merapi 2010 sebagai erupsi luwih atau lebih. Merapi memberikan banyak kelebihan selama letusan yang membuat lebih dari 100 ribu warga berasal dari desa rawan bencana itu sempat mengungsi ke berbagai tempat yang aman.

Berbagai hal yang lebih dari letusan Merapi itu antara lain menyangkut material vulkanik yang dikeluarkan ke segala penjuru, ketakutan warga, jatuhnya korban, pengetahuan terhadap alam, kepedulian sosial berbagai kalangan masyarakat terhadap warga merapi, dan ekogeologi Merapi.

Ia menilai begitu besar jasa para ilmuwan Gunung Merapi dari BPPTK yang secara cermat dan masuk akal memberikan informasi terkait perkembangan aktivitas vulkanik gunung berapi di perbatasan antara Jawa Tengah dengan Yogyakarta itu.

"Masyarakat khususnya generasi muda harus mendapatkan pencerahan dan pengetahuan yang relevan untuk beradaptasi dengan geologi dan ekologi Merapi pascaletusan 2010 khususnya dalam bidang pertanian dan pengurangan resiko bencana di lereng Merapi," katanya.

Semua kalangan masyarakat terutama di Merapi, katanya, harus memiliki semangat luwih pascaletusan gunung itu.

Subandriyo mengatakan pentingnya masyarakat dan pemangku kepentingan atas Merapi belajar lebih tekun setelah letusan 2010 supaya mereka dapat menghadapi kehebatan gunung itu secara arif pada masa mendatang.

"Nenek moyang warga Merapi juga mengalami letusan Merapi selama bertahun-tahun selama ini. Letusan Merapi 2010 mirip dengan 1872, kami juga belajar menghadapi letusan 2010 dari catatan sejarah letusan yang kami temukan pada 1872, untuk kemudian disampaikan kepada masyarakat," katanya.

Merapi, katanya, bukan dipandang sebagai bencana saja tetapi harus secara utuh karena gunung itu memiliki sejumlah sumber daya yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.

Jika terjadi letusan Merapi, katanya, peristiwa itu harus disikapi secara arif dengan tidak saling menyalahkan pihak yang satu kepada pihak lain.

Ia mengatakan, salah satu sumber daya Merapi adalah mata air sebagai berkah terutama petani dalam mengelola potensi pertanian dan kehidupan mereka sehari-hari.

"Merapi ini daerah tangkapan air yang sangat intensif. Jika bahaya primer Merapi berupa letusan, luncuran lava pijar, dan semburan awan panas, dan bahaya sekunder berupa hujan abu, pasir, dan banjir lahar dingin, bahaya tersier berupa kerusakan lingkungan termasuk kerusakan mata air akibat pengelolaan lingkungan Merapi yang merusak alam," katanya.

Lingkungan Merapi harus dijaga secara tepat agar tidak terjadi kerusakan sumber air. Pemanfaatkan material berupa pasir dan batu Merapi harus dikendalikan secara baik agar tidak terjadi kerusakan lingkungan berupa bencana tersier itu.

Umat yang mengikuti misa itu terlihat tertegun saat Subandriyo dari belakang altar itu menuturkan secara keilmuan tentang karakter baru Merapi pascaletusan 2010 dan peranan gunung itu terkait dengan suplai air untuk pertanian mereka.

Di tengah suasana cerah misa Natal siang itu, seakan umat meneguk air berkah pascaletusan Merapi.
(M029/T010/A038)

Oleh M. Hari Atmoko
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010