Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi II DPR Khatibul Umam Wiranu mengingatkan agar perdebatan Rancangan Undang Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta tidak berkutat pada politik kekuasaan saja karena ada persoalan lain yang perlu dipikirkan bersama.

"Ada tata nilai dan sistem yang berbeda antara institusi raja dengan gubernur yang harus dicari titik temunya," kata Umam di Jakarta, Rabu.

RUUK, katanya, harus bisa mengakomodasi dua tata nilai dan sistem yang berbeda tersebut dalam bingkai semangat menjaga dan melestarikan nilai-nilai lama yang baik, sambil pada saat yang sama memberi ruang bagi nilai-nilai baru yang lebih baik.

Umam menjelaskan, nilai-nilai lama tersebut adalah keistimewaan Yogyakarta dengan segala tradisi keratonnya, sedangkan nilai-nilai baru adalah berbagai UU baru yang mengatur pemerintahan provinsi yang menganut faham demokrasi.

"Terlampau kompleks permasalahan yang akan muncul jika dua institusi yang bertolak belakang ini disatukan dan dipegang oleh satu orang," katanya.

Ia mencontohkan segi akuntabilitas. Sebagai pejabat publik gubernur harus mempertanggungjawabkan jabatannya kepada publik, sementara tidak demikian dengan raja.

Masa jabatan gubernur dibatasi dalam periode tertentu, sementara masa jabatan raja seumur hidup.

Jabatan gubernur bisa diduduki siapa saja, sementara jabatan raja hanya boleh diisi oleh keluarga atau kerabat raja.

"Hal-hal penting ini harus dipahami bersama dan dicarikan titik temu. Sehingga, perdebatan dalam RUUK tak hanya soal politik kekuasaan," katanya.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Pembangunan Indonesia (LKPI) Chandra Andi Salam meminta masyarakat Yogyakarta agar tidak takut dengan pemilihan gubernur secara langsung.

Menurut dia, pemilihan langsung tersebut tidak akan menghilangkan simbol Sultan sebagai pemimpin, sebaliknya justru bisa menjadi indikator matematis sejauh mana kecintaan rakyat Yogyakarta terhadap Sultan.

"Pemilihan langsung itu akan membuktikan apakah rakyat Yogyakarta masih mencintai Sultan atau tidak? Sebagaimana diklaim di dalam berbagai gerakan rakyat Yogyakarta yang menghendaki Sultan ditetapkan saja sebagai gubernur daripada dipilih dalam pilkada," katanya.

Jika rakyat Yogyakarta mencintai Sultan, lanjut Chandra, maka sudah pasti rakyat tetap memilih Sultan sebagai gubernur meskipun harus bersaing dengan kandidat lain.

Sebaliknya, apabila rakyat Yogyakarta tidak memilih Sultan, itu berarti rakyat memiliki penilaian sendiri mengenai kepemimpinan Sultan sebagai kepala daerah.(*)
(T.S024/I007/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010