Jakarta (ANTARA News) - Minggu malam tadi, kaya miskin, tua muda, anak-anak sampai yang sudah agak bangkotan, larut dalam kegembiraan.

Ada suami yang memeluk istri, ada kekasih yang meremas mesra jari tangan pasangannya, ada remaja tanggung berjingkrak sambil memekik tiada henti, mengacungkan tangan tinggi-tinggi, begitu Cristian Gonzales memasukkan bola ke gawang Filipina di semifinal kedua Piala AFF itu.

Mereka bukan bagian dari 85 ribu penonton yang memadati Stadion Utama Gelora Bung Karno. Mereka tak jauh dari 85 ribu orang itu.

Mereka ada di luar stadion, menyemut sambil duduk bersila, berjongkok, berdiri, bahkan bergelantungan, dengan mata awas memelototi tiga layar televisi besar-besar dekat tiga pintu masuk Stadion Gelora Bung Karno.

"Wah kalau banyak gini, bisa masuk Guiness Book of World Record nih," kata Taufik Ilham, mahasiswa Universitas Indonesia.

Mereka serentak bersorak begitu pemain kedua kesebelasan memasuki lapangan, bak gladiator-gladiator yang memasuki arena koloseum.

Begitu "Indonesia Raya" berkumandang, mereka serentak ikut menyanyikannya dengan hikmad, penuh semangat, seolah akan turut ke medan perang.

Tanpa komando, tanpa janjian terlebih dahulu, puluhan ribu orang ini mengenakan jersey (baju seragam tim) Timnas Indonesia, lengkap dengan atribut-atribut tambahannya.

Mereka mengambil posisi siaga ala militer, menyilangkan tangan kedua tangan di dada, persis para profesional sepakbola berbaris sebelum kick off di ajang-ajang bergengsi dunia.

Begitu wasit Ali Hasan Ebrahim Abdulnabi meniup peluit tanda pertandingan mulai, gemuruh sorak di dalam stadion, beresonansi ke luar stadion. Terompet ditiup keras-keras, sementara mata tetap terpaku ke layar raksasa di depan mereka, nyaris tanpa berkedip.

Setiap terobosan, serangan, sepak pojok dan penyelamatan dari para pemain Indonesia di rumput hijau sana, disambut mereka dengan aplaus, sorak sorai, dan decak kagum.

Tepuk tangan tiada henti khas suporter sepakbola, beriringan dengan seruan "Indonesia, Indonesia, Indonesia."

Sebaliknya, setiap saat pemain Filipina menguasai bola, mereka bersorak mengejek, terlebih saat pemain-pemain kesayangan mereka dikasari orang-orang jangkung yang membela negeri di utara Sulawesi itu.

"Sialan lu Filipina," umpat seorang penonton.

Ada yang datang khusus untuk menonton bareng di luar stadion, kendati nonton di rumah pasti jauh lebih nyaman ketimbang di stadion yang keruan bau keringat dan super berisik itu.

Ada yang terpaksa nangkring di luar stadion karena sebelumnya tiket masuk stadion tak berhasil mereka peroleh.

"Sudah lima hari saya di Jakarta hanya untuk nonton pertandingan ini," ujar Agus Supriyanto, seorang aremania dari Malang.

Sementara, membawa seluruh keluarganya ke Jakarta, Iwan Kurniawan menyesalkan habisnya tiket karena proses yang tidak normal. "Habis semua dibeli calo," keluh warga Condet, Jakarta Timur, ini.

Iman Hardianto lain lagi. Dia tak kebagian tiket karena izin tak masuk kerja dari pabrik tempatnya bekerja datang lebih lambat dari waktu seharusnya dia antri tiket.

"Mau beli gimana, ijin libur di pabrik kan susah," kata Iman, juga membawa seluruh anggota keluarganya di Minggu malam itu.

Agus, Iwan, dan Iman adalah diantara puluhan ribu orang yang setia tetap di Gelora Bung Karno, meski tidak di dalam stadion.

Di antara mereka ada yang seperti hendak berkemah. Duduk bersila bersama keluarga. Makanan dan minuman tersedia di depan mereka, menghadap layar raksasa di mana mereka bisa menyaksikan Irfan Bachdim dkk beraksi. Salah satu dari mereka adalah Romaita Rahman.

"Kapan lagi mas kayak gini, bareng-bareng dengan keluarga nonton," kata Romaita yang adalah ibu rumah tangga bertempat tinggal di Cempaka Putih.

Cristian menguatkan asa

Babak pertama sepertinya akan berakhir tanpa gol. Namun tiga menit sebelum peluit dibunyikan, Cristian Gonzales membangunkan segalanya.

Dua kali dia menendang ke arah gawang Filipian, sekali yang terakhir berhasil memperdayai kiper Filipina, Neil Leonard Dula, dengan tendangan indah kelas dunia. 1-0 untuk Indonesia!

Ribuan orang di luar stadion itu serentak berdiri. Tangan mereka terkepal diacungkan tinggi-tinggi. Mereka berteriak "goool.." Penantian mereka dijawab tuntas oleh Cristian.

Terompet ditiup keras-keras, drum kembali ditabuh, sementara beberapa dari mereka menyalakan kembang api. Sepuluh kembang api seketika menyulap langit luar stadion menjadi benderang bak di siang hari.

Imam Tirta, seorang pegawai berdomisili di Cikarang, menari-nari sambil membopong Muhammad Rafa, anaknya yang masih lima tahun, di pundaknya.

"Garuda di Dadaku" kembali dinyanyikan. Kali ini dengan amat sangat bersemangat. Ribuan orang itu tak bosan-bosannya menyanyikan lagu gubahan grup band Netral asal Jakarta tersebut. Pukulan drum berirama mengiringi nyanyian mereka.

Pesta kemenangan digelar, padahal pertandingan belumlah usai. Mereka membuat lingkaran. Tangan-tangan mereka dijalin merangkai antar pundak mereka, padahal mereka tidak saling mengenal. Polah mereka persis anak pramuka yang mengelilingi api unggun di malam perkemahan.

Bedanya, Minggu malam itu tak ada api unggun. Mereka hanya menari berputar, menirukan tim-tim sepakbola yang berjaya meraih tropi juara. Bendera Merah Putih diayun-ayun bagai pejuang 45 baru mengusir penjajah.

Prilaku ini terus berlaku sampai pertandingan usai. Mereka tetap mencemooh pemain Filipina. Namun begitu si mungil lincah Okto Maniani keluar lapangan di menit 84 digantikan Arif Suyono, standing ovation (penghormatan sambil berdiri) dan tepuk tangan panjang mereka persembahkan dengan khidmat.

Mereka semua berdiri manakala wasit dari Bahrain itu meniup peluit panjang menandai usainya salah satu laga terbaik di Piala AFF kali ini.

Mereka tahu, Indonesia akan berjumpa sahabat sekaligus musuh bebuyutan Indonesia di hampir segala hal, Malaysia, di final.

"Ganyang Malaysia," seru Fahmi Idris, mahasiswa Universitas Bina Nusantara.

Seperti ribuan rekannya malam itu. Fahmi terpesona oleh penampilan timnas. "Permainan timnas saat ini adalah yang terbaik yang pernah saya lihat," katanya.

Pesta terus berlangsung. Cinta mereka pada timnas semakin kemasuk. Tubuh dan wajah mereka pun bagaikan toko fesyen, dihias dan berbalutkan aksesoris-aksesoris. Tentu saja semuanya berkaitan dengan sepakbola dan merah putih.

Muhammad Fajar, fans Jakmania, melumuri mukanya dengan cat merah dan putih. Muka kanannya merah, sedangkan putih dipoleskan ke sebelah kirinya.

Sementara Putri Herawati, dara manis dari Kebayoran, berstikerkan bendera merah putih di kedua pipinya, dia membalut lehernya dengan syal berujung rumbai-rumbai berwarna merah putih.

Mereka semua puas menjadi saksi keditjayaan timnas merah putih. Mereka puas impian bertahun-tahun menyaksikan tim yang tanggguh, terwujudkan.

"Saya sudah tunggu-tunggu momen ini," kata Iwan Setiawan.

Pertandingan Minggu malam tadi juga menyatukan mereka-mereka yang selama ini kerap berseteru, bahkan sering adu jotos. Mereka ini adalah para pendukung fanatik klub-klub sepakbola nasional.

"Saat ini Indonesia lebih penting dari yang lain," kata Edi Rianto dari JakMania. (*)

editor: jafar sidik

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010