Jakarta (ANTARA News) - Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan (GPSP) menawarkan model sistem pemilu campuran (mixed member proportional/MMP) yang merupakan model campuran antara proporsional terbuka dan proporsional tertutup untuk dibahas dalam revisi UU tentang Pemilu.

Saat beraudiensi dengan wakil ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR di Gedung DPR Jakarta, Rabu, Ketua Bidang Politik GPSP Fernita Darwis menjelaskan bahwa sistem pemilu sangat penting dibahas karena hal tersebut erat kaitannya dengan hasil pemilu yang diinginkan bangsa ini.

Dikatakannya bahwa dalam sejarah pemilu Indonesia, sejak Pemilu 1955, Pemilu 1971-1997, Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan 2009, sistem pemilu terus mengalami perubahan. Namun, semua sistem pemilu masih model proporsional dan belum pernah menerapkan distrik murni.

"Karenanya usulan sistem pemilu campuran atau Mixed Member Proportional (MMP) menarik untuk dibahas lebih lanjut," ujar Fernita.

Dalam model sistem pemilu yang ditawarkan GPSP itu, ada tiga model yang bisa diadopsi, yakni MMP model paralel yang dipakai di Rusia, Meksiko, dan Jepang serta MMP model proporsional yang berdasarkan personal dan lazim dipakai di Jerman, atau yang mirip dengan model itu juga di Bolivia, Selandia Baru, dan Venezuela. Alternatif berikutnya adalah model kompensasi yang digunakan di Hongaria.

Menurut Fernita, MMP model paralel adalah menjumlahkan perolehan kursi secara proporsional dan perolehan langsung di setiap distrik. "Katakan total kursi DPR 200 kursi, maka 100 dipilih secara proporsional dan 100 lagi dipilih lewat distrik. Kalau Partai A memperoleh 30 persen suara atau 30 kursi lewat proporsional dan 10 kursi lewat distrik, maka Partai A mendapat 40 kursi," ujarnya.

Untuk MMP model proporsional, ia menjelaskan, sama dengan MMP model paralel, yakni semisal total kursi DPR 200 kursi, maka 100 lewat proporsional dan 100 lewat distrik. "Namun dalam penghitungan perolehan kursi sangat berbeda. Ketika Partai A mendapat 30 persen suara lewat proporsional dan 10 kursi lewat distrik, maka dalam model ini Partai A itu berhak menduduki 30 persen kali total 200 kursi atau sama dengan 60 kursi. Yang 10 kursi lewat distrik tak dihitung lagi," ujarnya.

Sistem ini, ia menambahkan, juga mengenal bonus kursi ketika ada partai yang memperoleh kursi pemenang langsung sistem distrik melebihi jumlah proporsional suara partai.

Selanjutnya untuk MMP model kompensasi, kata Fernita, prinsipnya sama dengan sistem paralel. Hal yang berbeda adalah model ini menyertakan sisa-sisa suara yang tercecer akibat sistem distrik dan sistem proporsional. Sisa-sisa suara itu digabung-gabungkan untuk kemudian dipertandingkan dalam arena nasional.

"Kalau kita cek, dulu Koalisi RUU Pemilu sudah mengusulkan sistem MMP model pertama yakni paralel seperti di Meksiko dan Rusia. Namun, model itu tidak diterima oleh DPR pada pembuatan UU Pemilu 2004," ujarnya.

GPSP memandang sistem campuran ini menarik dan sejak dulu Indonesia belum pernah menerapkan distrik murni atau campuran. Yang pernah digunakan adalah sistem proporsional daftar tertutup dan proporsional daftar terbuka. Sementara perubahan yang sering terjadi hanya penambahan atau pengurangan daerah pemilihan saja.

Organisasi itu memandang bahwa sistem proporsional daftar tertutup dan daftar terbuka perlu dikombinasikan. "Usul saya dari 560 kursi, sebanyak 280 lewat proporsional daftar terbuka dan 280 daftar tertutup. Yang terbuka tempat bertarung para calon terpopular dan yang tertutup bagi calon dari aktivis partai dan akademisi yang betul-betul menggeluti kegiatan politik yang memahami tugas-tugas Parlemen," ujarnya.

Menanggapi aspirasi GPSP itu, Wakil Ketua Baleg DPR Ida Fauziah menjelaskan bahwa saat ini RUU tentang Pemilu masih dalam tahap penyusunan draft akademik sehingga perjalanan sampai ke pengesahan masih panjang. "Karenanya kita berupaya menghadirkan kalangan akademisi, pakar-pakar politik dan juga LSM untuk memberikan masukan-masukan bagi revisi UU tersebut," ujarnya.

Menurut Ida, di Baleg juga sudah ada keputusan sementara bahwa perubahan yang dilakukan dalam revisi UU Pemilu tidak akan ekstrim dengan prinsip yang digunakan adalah pemilu yang mudah dan murah.

"Sistem pemilu kita terlalu sering berubah-ubah. Misalnya saja sejak reformasi penyelenggaraan pemilu 1999, 2004 dan 2009 menggunakan tiga sistem yang berbeda-beda," ujarnya.

Karenanya, menurut Ida, DPR menghendaki agar revisi UU Pemilu kali ini tidak menghasilkan satu perubahan ekstrim dari model pemilu sebelumnya. Perubahan yang dilakukan hanya untuk memperbaiki kelemahan yang muncul saja.

Kesepakatan sementara lainnya adalah jumlah daerah pemilihan tidak akan diubah sehingga hal itu akan memberi kesempatan kepada para calon anggota legislatif mempersiapkan pencalonannya sedini mungkin.(*)
(T.D011/A041/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010