Depok (ANTARA News) - Direktur Kajian Politik pada Center for Indonesian National Policy Studies (CINAPS) Guspiabri Sumowigeno mengatakan bahwa pemerintah perlu mewaspadai kemungkinan bahwa konflik dua Korea berimbas pada keamanan nasional.

"Ada sekitar 25.000 populasi Korea Selatan di Indonesia yang perlu dilindungi," kata Guspiabri, di Jakarta, Jumat.

Ia mengatakan, intelijen Korut memiliki kemampuan melancarkan operasi terbatas di luar negeri seperti ditunjukkan dalam penculikan warga keturunan Korea di Jepang dan pemboman di Myanmar yang membunuh beberapa anggota Kabinet Korea Selatan.

Keamanan di semenanjung Korea makin mencekam setelah Korea Utara memberondong pulau Pyengpyeong, pulau di garis terdepan perbatasan kedua negara itu di laut Kuning, ajang pertikaian kedua negara tersebut sejak Perang Korea 1950-1953 berakhir.

Guspiabri mengatakan, peningkatan konflik Korea Utara dan Korea Selatan menambah jenis konflik AS-China. Sejak akhir 1970-an konflik keduanya hanya terjadi diwilayah ekonomi.

Korea Utara yang tertinggal dalam banyak aspek dari Korea Selatan yang didukung AS secara politik dan militer, tak mungkin melakukan tindakan serupa bila tak memperhitungkan dukungan China.

Dikatakannya bahwa konflik terbaru di semenanjung Korea adalah undangan bagi China untuk menjajal kekuatan politik aktual China sebagai hasil peningkatan kapasitas ekonominya, dalam mengimbangi AS di lembaga internasional yang menangani masalah politik dan keamanan internasional, yaitu PBB.

Bagi China, katanya, menangani masalah Korea dalam kedudukannya yang baru adalah sebuah tantangan untuk mengukur kewibawaan politiknya secara internasional, mengingat bahwa Beijing bukanlah pihak yang menduduki kursi China di Dewan Keamanan PBB pada saat berlangsung perang Korea yang dimulai 25 Juni 1950 diakhiri dengan kesepakatan gencatan senjata.

Saat itu kursi China diduduki Pemerintahan Nasionalis yang berkedudukan di Taiwan. Gencatan senjata pada 27 Juli 1953 deteken oleh China (Beijing) dan Korut di pihak komunis dan Komando PBB di pihak masyarakat internasional, yang membagi Korea menjadi dua negara.

Pada awal tahun 1990-an Pyongyang mengumumkan akan mentaati pakta, dan saat ini ada ancaman bahwa negara itu bisa membatalkannya.

Korea Utara tidak akan mendorong perang, tetapi akan puas dengan menurunnya citra AS sebagai kekuatan besar di Asia Timur. Itu adalah kredit bagi Pemerintah Korea Utara dimata rakyatnya yang sedang kesulitan ekonomi.

AS sendiri berada dalam posisi yang sulit, karena masalah ekonomi domestik yang amat berat, serta tanggungjawab di Irak dan Afganistan yang masih terus berjalan, dan karena itu keterlibatan dalam perang baru bukanlah pilihan yang akan disetujui oleh pembayar pajak di negeri itu.

(F006/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010