Pemerintah harus menentukan ambang batas emisi karbon yang diperkenankan, sehingga implementasi pajak karbon tidak akan menjadi beban dari rakyat kebanyakan
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi IV DPR RI Saadiah Uluputty menyikapi pajak karbon yang kini sedang dalam proses pembahasan di berbagai institusi mulai dari akademisi hingga DPR RI, bahwa setiap individu atau orang pribadi tidak boleh menjadi subjek pajak.

Saadiah Uluputty dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu, bersikap menolak individu atau orang pribadi menjadi subjek pajak karbon karena pada tahap implementasinya akan berpotensi membebani rakyat kebanyakan.

"Pemerintah harus menentukan ambang batas emisi karbon yang diperkenankan, sehingga implementasi pajak karbon tidak akan menjadi beban dari rakyat kebanyakan," katanya.

Politisi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ini menjelaskan, saat ini DPR RI tengah melakukan pembahasan Omnibus Law terkait Pajak yaitu Rancangan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Salah satu hal penting yang akan diatur dalam RUU KUP adalah Pajak Karbon.

Saadiah mengingatkan bahwa ketentuan pajak sebagai instrumen ekonomi lingkungan hidup telah diatur UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Ia menyatakan pada dasarnya sangat menyambut positif pajak karbon, sebagai salah satu upaya mengatasi eksternalitas negatif yang timbul dari aktivitas industri yang menyebabkan peningkatan gas rumah kaca.

"Pajak karbon merupakan konsepsi yang selaras dengan pembangunan berkelanjutan yang ingin di wujudkan dalam pembangunan nasional. Namun perlu digarisbawahi agar pajak karbon dapat efektif. Penyebab emisi yang terbesar adalah sektor kehutanan, yang menyumbang lebih dari 50 persen emisi nasional. Oleh karena itu, sektor kehutanan lah yang perlu mendapatkan perhatian besar terutama untuk mencegahnya dari kebakaran hutan dan lahan," paparnya.

Sebelumnya, pemerintah mengusulkan pengenaan pajak karbon melalui revisi Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Pengenaan pajak karbon ini akan dilakukan untuk emisi karbon yang berdampak negatif bagi lingkungan hidup, dengan tarif paling rendah sebesar Rp75 (tujuh puluh lima rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Sementara itu untuk memenuhi komitmen Paris Agreement, Pemerintah telah menetapkan lima sektor penting dalam Nationally Determined Contribution (NDC), yakni sektor energi, waste, IPPU (industrial process and production use), pertanian dan kehutanan.

Sektor-sektor ini ditargetkan menurunkan emisi sebesar 29 persen (setara dengan pengurangan emisi 834 juta ton CO2e) dengan kemampuan sendiri dan sampai 41 persen (setara dengan 1.081 juta ton CO2e) dengan dukungan internasional pada 2030.

Baca juga: APHI harapkan pajak karbon untuk pengendalian perubahan iklim

Baca juga: Pengamat pajak sebut pemerintah mesti buat UU pajak karbon tersendiri

Baca juga: Peneliti: Rencana pemungutan pajak karbon harus libatkan dunia usaha

Baca juga: Ekonom: Potensi pendapatan pajak karbon capai Rp57 triliun

 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2021