Jakarta (ANTARA) - Peraturan perundang-undangan baru yang mengatur terkait otonomi khusus Provinsi Papua dan Papua Barat akhirnya disetujui untuk disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Hal ini setelah Rapat Paripurna DPR pada Kamis (15/7) menyetujui Perubahan Kedua UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus).

Revisi UU Otsus Papua sendiri telah dibahas oleh Panitia Khusus (Pansus) yang terbentuk pada Maret 2021 lalu.

Revisi UU tersebut merupakan usul inisiatif pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan memastikan pembangunan di Papua dan Papua Barat berjalan dengan baik.

Di awal pengajuan draf revisi UU, pemerintah hanya mengajukan tiga pasal yang direvisi yaitu Pasal 1 terkait redefinisi Provinsi Papua, Pasal 34 tentang keberlanjutan dana otsus, dan Pasal 76 tentang pemekaran wilayah.

Pasal 34 revisi UU Otsus mengatur besaran dana otsus yang sebelumnya 2 persen, berubah menjadi 2,25 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional.

Baca juga: Mahfud: Pengesahan UU Otsus Papua untuk kesejahteraan masyarakat Papua

Di Pasal 76 terkait pemekaran wilayah, di UU yang lama, pemekaran wilayah di Papua dan Papua dilakukan dengan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua.

Namun dalam revisi UU Otsus Papua ditambahkan aturan bahwa pemerintah pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom.

Langkah tersebut untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua (OAP) dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua.

Namun dalam pembahasan revisi UU Otsus, terjadi dinamika yaitu adanya usulan penambahan dan perubahan beberapa pasal yang diusulkan fraksi-fraksi DPR dan DPD RI. Usulan tersebut berdasarkan adanya masukan dan pendapat masyarakat khususnya warga Papua.

Karena itu dalam Rapat Kerja (Raker) Pansus RUU Otsus Papua DPR RI bersama pemerintah dan DPD RI pada Senin (12/7/2021) lalu, diambil keputusan terkait adanya usulan penambahan pasal-pasal yang akan direvisi dalam reivisi UU tersebut.

Fraksi-fraksi di DPR dan DPD RI berpandangan bahwa persoalan di Papua tidak dapat hanya diselesaikan hanya melalui perubahan tiga pasal yang diajukan pemerintah.

Karena itu pembahasan RUU tersebut melebar ke sejumlah substansi yang sifatnya penambahan pasal maupun penghapusan ketentuan UU sebelumnya.

Hal itu terlihat dari daftar inventarisir masalah (DIM) fraksi-fraksi dan DPD RI yang dihimpun dari pendapat pemerintah daerah serta masyarakat Papua yang menyampaikan pendapatnya kepada parlemen.

Pada akhirnya Pansus Otsus Papua dan pemerintah menyepakati terdapat 20 pasal yang mengalami perubahan, terdiri dari tiga pasal yang diajukan pemerintah, 15 pasal di luar substansi, dan dua pasal substansi materi di luar UU Otsus Papua.

Pembaruan UU Otsus

Ketua Pansus UU Otsus Papua Komarudin Watubun dalam Rapat Paripurna DPR pada Kamis (15/7) menjelaskan, RUU tersebut mengakomodir perlunya pengaturan kekhususan bagi orang asli Papua (OAP) dalam bidang politik, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan perekonomian, serta memberikan dukungan bagi pembinaan masyarakat adat.

Dalam bidang politik, revisi UU tersebut membuat nomenklatur baru pengganti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) yang berkedudukan di tiap kabupaten/kota. Aturan terbentuknya DPRK tersebut diatur dalam Pasal 6a ayat 1-7.

Baca juga: Mendagri: UU Otsus Papua yang baru bentuk keberpihakan pada OAP

Pasal 6a ayat 1 huruf (a) disebutkan DPRK terdiri atas anggota yang dipilih dalam pemilihan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan huruf (b) diangkat dari unsur orang asli Papua.

Sementara itu dalam Pasal 6a ayat 2 disebutkan anggota DPRK yang diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berjumlah sebanyak ¼ (satu per empat) kali dari jumlah anggota DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.

Dalam penjelasan terkait Pasal 6a tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "dari unsur orang asli Papua" adalah perwakilan masyarakat adat di wilayah kabupaten/kota dan tidak sedang menjadi anggota partai politik sekurang-kurangnya lima tahun sebelum mendaftar sebagai calon anggota DPRK.

Penjelasan Pasal 6a ayat 2 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "¼ (satu per empat) kali dari jumlah anggota DPRK" termasuk dengan komposisi sekurang-kurangnya berjumlah 30 persen keterwakilan perempuan.

Perluasan terhadap peran politik OAP dan afirmasi keterwakilan perempuan juga tercermin dalam aturan mengenai keanggotan Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi (DPRP) yang diatur dalam Pasal 6. Dalam Pasal 6 ayat 1 disebutkan DPRP terdiri atas anggota yang dipilih dalam pemilihan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan diangkat dari unsur Orang Asli Papua.

Revisi UU tersebut memberikan kepastian hukum bahwa Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPRP berkedudukan di masing-masing ibu kota Provinsi. Dalam Pasal 5 ayat 3 disebutkan bahwa MRP dan DPRP berkedudukan di setiap ibu kota Provinsi.

Dalam penjelasan Pasal 5 ayat 3 tersebut dijelaskan bahwa Untuk penamaan MRP di tiap-tiap provinsi dicontohkan MRP Provinsi Papua dan MRP Provinsi Papua Barat. Untuk penamaan DPRP di tiap-tiap provinsi dicontohkan DPR Papua dan DPR Papua Barat.

Penjelasan mengenai penamaan masing-masing lembaga agar tercipta kesamaan penyebutan nama untuk kegunaan administrasi pemerintahan.

Selain itu dalam bidang politik, RUU tersebut juga menghapus secara keseluruhan Pasal 28 yang mengatur mengenai "partai politik lokal" di Papua. Langkah itu dilakukan untuk mengadopsi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 41/PUU-XVII/2019 yang menolak pembentukan partai politik lokal di Papua.

Terkait pemekaran wilayah Provinsi di Papua, aturan tersebut merujuk pada usulan pemerintah yang mengubah Pasal 76 yang sebelumnya disebutkan bahwa "Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang".

Dalam revisi Pasal 76 disebutkan pemekaran provinsi dan kabupaten/kota di Papua selain dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP (Pasal 76 ayat 1), pemerintah dan DPR RI juga dapat melakukan pemekaran tersebut dengan tujuan mengangkat harkat serta martabat OAP (Pasal 76 ayat 2).

Sementara itu dalam Pasal 76 ayat 3 disebutkan bahwa pemekaran yang dilakukan pemerintah dan DPR RI tersebut tanpa melalui tahapan daerah persiapan. Aturan terkait pemekaran tersebut juga menekankan harus menjamin dan memberikan ruang kepada OAP dalam aktivitas politik, pemerintahan, perekonomian, dan sosial-budaya.

Terkait Pasal 34, mengatur besaran penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan otsus Papua, yang besarnya setara dengan 2,25 persen dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) nasional. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan besaran dana otsus yang diatur dalam UU nomor 21 tahun 2001.

Baca juga: Pemerintah Papua Barat sambut baik pengesahan UU Otsus Papua

Namun, revisi UU Otsus Papua khususnya terkait Pasal 34 telah memperkenalkan tata kelola baru dalam penggunaan dana otsus Papua.

Misalnya dalam Pasal 34 Ayat 3 Huruf (e) Angka 1 dan 2 bahwa pencairan dana penerimaan khusus pelaksanaan otsus yang besarnya sebesar 2,25 persen dari DAU, dilakukan melalui dua skema yaitu penerimaan yang bersifat umum setara dengan 1 persen dan penerimaan yang telah ditentukan penggunaannya dengan berbasis kinerja pelaksanaan sebesar 1,25 persen.

Penerimaan berbasis kinerja pelaksanaan mengatur bahwa sebesar minimal 30 persen dialokasikan untuk pendidikan, dan 20 persen untuk kesehatan, yang diharapkan mampu meningkatkan pendidikan dan kesehatan di Papua, serta akan menyejahterakan OAP.

Dalam Pasal 34 ayat 9 terkait pembagian penerimaan khusus dana Otsus harus memperhatikan beberapa hal antara lain jumlah OAP, luas wilayah, tingkat kesulitan geografis, dan indeks kemahalan konstruksi.

Langkah terobosan juga dilakukan dalam hal pengawasan pengelolaan penerimaan dalam rangka Otsus tersebut yaitu dengan melibatkan DPD dan perguruan tinggi negeri yang diatur dalam Pasal 34 Ayat 14.

Karena itu pengawasannya dilakukan secara koordinatif sesuai kewenangannya oleh kementerian, lembaga pemerintah non-kementerian, pemda, DPR RI, DPD RI, BPK, dan perguruan tinggi negeri.

Keseriusan dalam menjalankan pelaksanaan Otsus Papua juga ditunjukkan dengan dibuatnya aturan mengenai pembentukan badan khusus untuk percepatan pembangunan Papua, yang diatur dalam Pasal 68A.

Dalam Pasal 68A tersebut dijelaskan bahwa badan khusus yang dibentuk bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden dalam rangka sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi pelaksanaan otonomi khusus dan pembangunan di wilayah Papua.

Badan khusus tersebut diketuai Wakil Presiden RI, dengan anggota terdiri dari Menteri Dalam Negeri, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Keuangan, dan satu orang perwakilan di setiap provinsi di Papua.

Pasal 75 UU Otsus yang baru tersebut juga mengatur bahwa pembentukan peraturan pemerintah (PP) yang melaksanakan berbagai ketentuan dalam UU tersebut ditetapkan harus sudah terbentuk paling lambat 90 hari sejak RUU Otsus diundangkan menjadi UU.

Baca juga: Puan nilai RUU Otsus Papua perbaiki pelaksanaan otonomi khusus

Sementara itu untuk peraturan daerah khusus (perdasus) dan peraturan daerah provinsi (Perdasi) yang melaksanakan ketentuan UU Otsus harus ditetapkan paling lambat 1 tahun sejak revisi UU tersebut diundangkan.

Namun apabila perdasus dan perdasi tidak dapat dibuat dalam waktu satu tahun, maka pemerintah dapat mengambil alih pelaksanaan kewenangan.

Aturan dalam Pasal 75 tersebut bertujuan agar tujuan percepatan pembangunan di Papua bisa berjalan secepatnya sehingga tujuan pemerataan kesejahteraan bagi OAP dapat terwujud.

Saat ini, revisi UU Otsus Papua sudah disetujui DPR RI, dan mengacu pada UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, draf revisi UU tersebut harus segera diserahkan kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang.

Kehadiran UU Otsus Papua hasil Perubahan Kedua tersebut sangat diharapkan dapat dijalankan secara efektif, transparan, dan akuntabel sehingga tujuan kehadiran UU tersebut dapat tercapai yaitu pemerataan pembangunan dan kesejahteraan rakyat Papua.

Tentu saja kita tidak ingin mendengar lagi kasus dugaan penyimpangan anggaran dana Otsus Papua yang pernah disampaikan Polri. Dugaan penyimpangan tersebut seperti "mark up" atau penggelembungan harga dalam pengadaan sejumlah fasilitas-fasilitas umum di wilayah Papua.

Adanya perbaikan tata kelola pemerintahan dalam UU yang baru tersebut khususnya mengenai koordinasi dan pelaksanaan pengawasan pelaksanaan Otsus Papua, diharapkan dapat meminimalisir penyelewengan dana otsus yang jumlahnya sangat besar.

Karena itu peran serta DPR, DPD, BPK, dan perguruan tinggi negeri yang diberikan amanah untuk mengawasi pelaksanaan dana Otsus Papua dapat dilaksanakan secara maksimal sehingga OAP dapat mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan ekonomi secara layak.

Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021