Sungai Raya, Kalbar (ANTARA News) - Ketua Sekolah Tinggi Pastoral Santo Agustinus, Kabupaten Kubu Raya, Andreas Muhrotien mengatakan, program multikulturalisme yang diterapkan pada perguruan tinggi itu diharapkan memberikan pengetahuan bagi mahasiswa untuk menghargai sesama, tanpa melihat suku, ras, dan agama.

"Pendidikan Multikulturalisme ini sangat diperlukan mahasiswa sebagai bekal mereka ketika mengabdi kepada masyarakat nanti. Management peredam konflik jelas sangat diperlukan, karena seorang pastor harus menjadi teladan bagi masyarakat," kata Andreas, Minggu.

Kubu Raya, Kalimantan Barat, sebagai daerah yang memiliki masyarakat pluralisme, karena itu, Andreas yang juga Wakil Bupati Kubu Raya merasa kabupaten itu perlu membuat suatu pusat studi tentang mutu multikulturalisme (sebuah ideologi dan alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya).

Diakuinya, untuk mewujudkan hal tersebut memang membutuhkan waktu yang cukup lama, dan tidak bisa dilakukan dengan singkat. Masyarakat Kubu Raya itu merupakan masyarakat yang plural yang menghasilkan suatu kebudayaan yang berbeda, di mana setiap suku atau etnis tertentu perlu saling menghargai perbedaan kebudayaan yang ada.

"Untuk menjadi masyarakat yang multikultur yang bisa menghormati etnis dan budaya lain, sejauh ini masih belum tercipta dengan baik," katanya.

Dia menuturkan, khusus untuk Kabupaten Kubu Raya juga dikenal sebagai kabupaten yang memiliki keanekaragaman suku dan budaya. Berdasarkan data yang ada, persentase suku Melayu di Kabupaten Kubu Raya mencapai 31 persen, Madura 22 persen, Jawa 18 persen, China 11 persen, Dayak tujuh persen, dan selebihnya merupakan suku lainnya.

Dengan persentase tersebut, jelas tergambar, bahwa kabupaten yang memiliki masyarakat lebih dari setengah juta jiwa ini cukup beraneka ragam suku dan budaya yang ada.

Dengan adanya pusat studi ini, Andreas ingin mengetahui bagaimana upaya untuk meningkatkan dari masyarakat yang plural ini bisa menjadi masyarakat multiculturalism yang lebih menghargai setiap perbedaan. Di dalam pusat studi multikultur ini, seseorang bisa meneliti dan mencari tahu bagaimana upaya untuk mewujudkan masyarakat yang multikultur ini.

"Selama ini, masyarakat kita sepertinya terus menunjukkan egosentris dari sukunya," ujarnya.

Hal ini jelas akan mempercepat proses perpecahan kesatuan, di mana setiap kelompok suku ini sudah menampakan identitas sukuismenya. Walaupun baru dilakukan sebagaian kecil masyarakat, namun jika nantinya bisa membentuk karakter multikultursime masyarakat, tentu masyarakat bisa saling menghargai, budaya maupun ritual yang ada di setiap keagamaan maupun suku yang ada.

"Untuk itu lah studi ini perlu dibentuk. Dari studi ini nantinya akan diketahui bagaimana menyatukan masyarakat yang terkotak-kotak ini. sehingga diharapkan mampu mencegah konflik antar etnis ke depan. Dan sebagai tahap awal, kita coba bentuk pusat Multikultural di STP ini, sebelum nanti kita buat pusat untuk Kubu Raya," kata Andreas. (ANT-171/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010