Boleh jadi tidak mudah melakukan reorientasi agenda media menuju pencerahan masyarakat bagi insan pers, di tengah masalah keberlanjutan bisnis media yang kian ketat dan kecenderungan "bad news is good news".
Sahabat, saya baru kembali dari Palembang. Lebih dari 1.000 insan pers kumpul di sana, yang tumplek  merayakan Hari Pers Nasional (HPN), sebuah hajat masyarakat pers se-Indonesia. Saking banyaknya tetamu, stok empek-empek Palembang habis dimana-mana, gurau Alex Noerdin, Gubernur Sumatera Selatan.

Saya ingin berbagi cerita dengan Anda tentang sebuah harapan para wartawan senior dan insan pers yang tidak pernah padam. Mereka juga mencintai negeri ini, sama seperti Anda. Sedikit bedanya, mereka bisa mengayun pendulum kebebasan pers langsung yang kita rasakan sejak tahun 1999 hingga kini.

Tentu saja, menghadiri momentum tahunan itu, jadi kesempatan berharga buat saya untuk bertukar pikiran dan belajar pada para wartawan senior, yang sebagian dari mereka, menyaksikan langsung terbangunnya sebuah rumah besar yang bernama Indonesia.

Sebagai contoh, Rosihan Anwar mengenal (alm) Jenderal Soedirman dari dekat, berinteraksi dengan (alm) Bung Karno dan (alm) Pak Harto langsung.

Mereka dapat menjadi kamus sejarah yang berjalan. Bahkan, sebagian dari mereka menjadi saksi mata perjuangan merebut kemerdekaan dan jatuh bangunnya pemerintahan sejak Republik ini berdiri. Mereka paham betul sejarah Republik, terutama sekali sejarah tumbuhnya pers pada setiap zaman.

Kisah mereka adalah sumber pelajaran untuk menimba kearifan bagi kita sebagai generasi pelanjut cita-cita dan harapan para founding fathers. Beberapa dokumen milik Pak Rosihan misalnya, tersimpan rapi di beberapa museum sejarah di Leiden, Belanda.

Dokumen-dokumen miliknya dulu telah jadi dokumen rampasan perang, menurut pengelola museum di sana. Bulan lalu, Pak Rosihan diundang Pemerintah Belanda ke sana dan diizinkan memperoleh salinan dokumen miliknya.

Menjadi orang dalam pers, menjadi sebuah kesempatan besar bagi saya dan insan pers untuk dapat melakukan sesuatu. Semoga peran itu bisa berarti untuk hidup yang sekali ini, turut berkontribusi bagi masa depan negeri ini.

Selain belajar dari Pak Rosihan, hadir Herawati Diah, janda mendiang alm BM Diah, Sabam Siagian, mantan Duta Besar RI di Australia, Tarman Azzam, mantan Ketua PWI dua periode, tokoh senior pers daerah, dan para senior pers lainnya baik yang tergabung dalam wadah PWI, AJI, ATVSI, Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia dan lain-lain.

Pada HPN itu, saya tidak melihat Djafar H Assegaff, Jacob Oetama, dan Parni Hadi senior pers yang banyak dikagumi, mungkin kali ini berhalangan.

Ada juga generasi baru pemilik dan pengelola media yang telah menyatakan komitmen untuk meratifikasi pedoman pengelolaan media yang lebih bertanggung jawab, seperti Chairul Tanjung, Agung Adiprasetyo, Dahlan Iskan, Syafiq Usman dan 14 orang lainnya, yang di dalamnya meratifikasi kode etik pers dan standar kompetensi wartawan.

Dari perbincangan dengan sebagian dari para senior itu, saya selalu menangkap komitmen dan spirit mereka untuk memperbaiki  negeri ini, perubahan agar Indonesia lebih baik.

Esensi perjuangan pers adalah mewujudkan kebaikan yang sejati bagi masyarakat. Pakar media, Bill Kovach,  menyatakan esensi perjuangan pers adalah memenuhi hak publik untuk mengetahui (people's right to know), salah satu esensi keadilan yang bersifat universal.

"Kebaikan buat negeri ini". Itulah benang merah yang sering saya simak juga saat berbincang-bincang dengan sebagian teman-teman lain yang terpilih jadi anggota dewan, birokrat, dan lembaga penegakan hukum yang kini makin disorot di negeri ini.

Harapan insan pers sangat tinggi terhadap penegakan hukum, sehingga para petinggi Polri, KPK dan Kejagung juga diundang untuk menyampaikan  program dan memperoleh masukkan dari insan pers pada salah satu sesi konvensi media massa, sehari sebelum puncak HPN itu.

Dari komitmen dan spirit tersebut, semakin kuat keyakinan saya bahwa perjuangan kebebasan pers tidaklah bebas nilai. Dia terikat pada nilai-nilai kebenaran, kejujuran, tanggung jawab dan nilai-nilai strategis lainnya bagi pendewasaan kita sebagai anak-anak bangsa yang kini hidup di alam  demokrasi, sebuah pilihan sadar.

Menkominfo Tifatul Sembiring bertanya secara retoris "setelah kita bebas sebebas-bebasnya, lalu apa tanggungjawab kita terhadap masyarakat saat ini". "So what gitu loh", bahasa ABG sekarang.

Pendulum kebebasan pers nampaknya tengah berada pada titik ekstrim. Sebagian masyarakat, ada yang menggugat. Sebagian dari mereka merasa nuraninya "terganggu" ketika sebagian besar wajah Indonesia hari ini diwakili oleh berita debat kusir Pansus, demonstrasi terus-menerus di daerah, ban-ban dibakar, kisah perselingkuhan selebritis dan sejenisnya. Seakan-akan, Republik ini mau kiamat, demikian katanya.

Sebagian bertanya dimana berita tentang prestasi anak-anak bangsa yang menjuarai olimpiade sains setiap tahun, kisah heroik perdamaian atas konflik di daerah, perlunya keanekaragaman pangan, ketangguhan pengusaha nasional menghadapi krisis dunia, perjuangan kedaulatan energi, laporan pemenuhan millenium development goals (MDGs) dan berita-berita lain yang memberi harapan.

Negeri ini adalah negeri besar. Sebagian besar kita mungkin ingin membaca, mendengar dan menyimak berita yang membangkitkan energi positif, sebagaimana prinsip self-fulfilling prophecy yang membesarkan hati. Menurut seorang pakar psikologi, pikiran menentukan pembentukan kepribadian kita dan ke arah mana kita melangkah sebagai sebuah bangsa.

Ada juga sebagian dari masyarakat yang merasakan adanya tendensi "kriminalisasi" pers terhadap pihak-pihak yang belum tentu melanggar hukum. Asas praduga tak bersalah, kerap diabaikan oleh para insan pers, demikian kritik mereka.

Sebagai contoh, ada seorang Direktur Utama salah satu BUMN yang dinyatakan menjadi tersangka oleh KPK dua tahun lalu. Pemberitaan pers amat besar dan terus-menerus pada halaman satu, yang menyebabkan keluarga tersangka merasa telah diadili oleh media dan lingkungan di sekitarnya.

Apa yang terjadi kemudian; pemberitaan tidak sebanding ketika ia dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan. Hak jawab ditempatkan pada halaman surat pembaca. Bahkan, sebagian besar media tidak memberitakan pembebasannya, padahal dulu memberitakan dengan besar-besaran saat ia dinyatakan menjadi tersangka. Kegelisahan itu disebut "the damage has been done", kata seorang pakar komunikasi UI, Ibnu Hamad.

Menghadapi fenomena itu, pada salah satu sesi diskusi HPN, tokoh pers, Karni Ilyas, menyatakan bahwa lembaga kepolisian dan media adalah infrastruktur semata, selebihnya tergantung manusianya.

Menurutnya, boleh jadi ada peluang kriminalisasi hukum oleh lembaga kepolisian, sebagaimana dapat terjadi "kriminalisasi pers" oleh insan pers. Penguatan kode etik dan kontrol publik menjadi sesuatu yang wajib kita lakukan terus-menerus, baik kepada lembaga penegakan hukum maupun lembaga pers.

Sahabat, saya ingin berbagi pikiran ini, sebab pendulum pers bersifat dinamis tergantung kehendak publik, kita semua. Ia bisa berayun pada titik di mana kontrol pers oleh negara sepenuhnya seperti di beberapa negara sahabat, di antaranya; China, Malaysia dan Singapura untuk menyebut beberapa contoh.

Pendulum bisa juga bergeser atau tetap seperti yang terjadi di negeri ini, pers dikontrol oleh publik dan kepentingan pemilik atau pengelola media, apapun agenda mereka. Mereka, para pemilik media, bebas memainkan agenda apapun bagi kepentingannya.

Dalam sebuah talk show, seorang insan pers menyarankan agar para pembaca dan pemirsa lah yang mengendalikan apapun pilihan media yang kita simak. Seburuk apapun pilihan tayangan atau bacaan di depan kita. Kita bebas untuk tidak membaca, tidak menyimak dan mengatur remote control televisi di rumah, untuk melindungi anak-anak kita.

Pada HPN itu, Presiden SBY menyampaikan harapan agar kekuasaan pers yang besar itu dimanfaatkan dengan bijak. Ia mengapresiasi ketika insan pers melakukan "self regulating initiatives" melalui ratifikasi yang ditandatangani 18 perusahaan pers.

Ia juga berharap agar keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers semakin memperkaya kearifan insan pers dalam menawarkan isi tayangan atau pemberitaan, sekaligus menegur insan pers yang melanggar hak publik.

Pada era kebebasan pers ini, Pemerintah hanya bisa menghimbau. Saat ini tidak tepat bila Pemerintah melakukan intervensi, dalam bentuk apapun, demikian kata Presiden.

Sahabat, pilihan kebebasan itulah yang sudah negeri ini putuskan melalui implementasi Undang-undang Pers dan Undang-undang Penyiaran yang sudah lebih dari sepuluh tahun kita rasakan. Kita tidak mudah balik badan, kecuali para wakil-wakil rakyat  melakukan perubahan atas undang-undang tersebut pada arah sebaliknya, sebagaimana pada masa Orde Baru.

Para wakil rakyat juga bisa mengarahkan pendulum ke tengah yang memberi ruang kebebasan yang bertanggung jawab, ruang bagi peran penyelenggara negara untuk terlibat dalam regulasi yang melindungi hak publik yang merasa terganggu, disertai penegakan hukum yang keras bagi insan pers yang melanggar hak publik itu.

"Suara rakyat adalah suara Tuhan", demikian adagium demokrasi. Sebagian kita boleh jadi menggugatnya, mengingat belum semua anak-anak bangsa dewasa menjalani semua dampak kebebasan pers ini, namun itulah jalan yang sedang kita tempuh saat ini.

Di Amerika dan negara-negara Eropa,  penganut demokrasi dan kebebasan pers, ada regulasi ketat yang menyertainya, terutama untuk melindungi bacaan atau tayangan bagi anak-anak, dengan sangsi yang keras.

Kita sedang berproses menuju pendewasaan publik, insan pers dan penyelenggaraan negara. Semua sedang belajar.  Kini saatnya, publik juga dapat melakukan perubahan, selain penyelenggaraan negara yang dapat menjadi fasilitator, dan insan pers yang langsung bisa mengayun agenda pemberitaannya.

Majalah Time memilih "You" sebagai Person of the Year pada tahun 2006. Aktor perubahan kini adalah kita semua, baik disuarakan melalui wakil-wakil rakyat, media atau forum-forum lainnya.

Kritis terhadap kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa, kritis terhadap wakil-wakil rakyat dan kritis terhadap lembaga penegakan hukum, sama mulianya dengan keharusan kita agar juga kritis juga terhadap isi dan agenda pemberitaan media dan pilihan program lembaga penyiaran publik.

Sambil terus mendorong wakil-wakil rakyat agar lebih peka terhadap keinginan hak publik ini, kita bisa melakukan sesuatu yang berarti. Bila suara mereka tidak terdengar pun, kita tidak perlu kehilangan harapan.

Publik masih punya medium jejaring sosial dan forum publik lainnya. Gerakan  bebaskan Bibit-Chandra, Koin Prita dan Koin Bilqis adalah sejumlah contoh kontrol dan gerakan publik yang mewakili mayoritas diam yang dapat mengubah wajah dan kehidupan negeri ini. Sebab benang merahnya sama, kita sama-sama mencintai negeri ini.

Sejarah perubahan selalu dimulai oleh creative minority yang dapat menggerakkan silent majority. Ketulusan hati anak-anak bangsa yang sama-sama mencintai negeri ini akan ketemu pada titik tertentu. Sejarah Republik selalu membuktikan hal itu terjadi.

Sahabat, kini kita semua punya kesempatan melakukan sesuatu untuk mengubah negeri ini karena tangan, mulut, mata, telinga dan hati kita semua merdeka.

Kita punya kebebasan untuk melakukan perubahan dengan profesi yang kita jalani, dengan kekuasan sekecil apapun yang kita miliki, dengan sumber daya apapun yang kita kuasai untuk melakukan tindakan-tindakan positif yang nyata untuk kebaikan negeri ini.

Khusus bagi saya dan teman-teman media, kita punya kesempatan mewujudkan masyarakat seperti apa yang kita ingin bangun, sebuah masyarakat yang lebih bijak atau sebaliknya. Sebuah gerakan spiritualitas media.

Boleh jadi tidak mudah melakukan reorientasi agenda media menuju pencerahan masyarakat bagi insan pers, di tengah masalah keberlanjutan bisnis media yang kian ketat dan kecenderungan "bad news is good news".

Namun, "nothing impossible" bukan? Bila hati dan pikiran menyatu, gerakan pencerahan media itu akan menemukan muaranya.

Beberapa media yang menjaga kredibilitas dan mewakili suara hati publik, kini teruji yang paling sehat secara bisnis saat ini. Ratusan media yang menjual sensasi dan "jurnalisme perang" tumbuh bak jamur di musim hujan namun berguguran sejak tahun 1999 hingga beberapa waktu yang lalu.

Kita bisa melakukan apapun untuk turut menjadi pelaku perubahan di negeri ini, termasuk mengayun pendulum kebebasan pers yang kita harapkan. Namun, kita juga bisa memilih diam. Itulah selemah-lemahnya iman, demikian nasihat Rasulullah.

*) Praktisi manajemen media, pemerhati kepemimpinan

Oleh Ahmad Mukhlis Yusuf
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010