Kita semua fakir di hadapan Allah, tetapi jangan suka mengaku fakir, karena dua gunung emas pun digenggaman Anda, masih diaku tak cukup-cukup. Ya begitulah manusia, yang kata Pak Dalang Ki Anom Suroto, “menungso” alias manusia itu, “menus-menus tur n
Lama nggak muncul, mendadak nama saya berubah menjadi Dul Pakir. Kenalkan, nama lengkap saya Abdul Pakir. Saya masih keponakannya Oom Jon Pakir, seorang tokoh (kalau ada yang mengakui sebagai tokoh sih) masa lalu (belum begitu lalu juga sih, sekitar 20-an tahunan yang lalu) yang menyusup di harian Harian Masa Kini, Yogyakarta (kini sudah almarhum), lewat kolom-kolom Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun. Anda ingat atau tepatnya kenal Oom saya Jon Pakir itu?

Pasti banyak yang tak ingat dan tak kenal ya. Memang Oom saya itu tak seterkenal Oom Pasikom-nya Oom GM Sudarta yang tinggal di Klaten itu. Tetapi dijamin keduanya sama-sama menggelitik. Kewajiban saya sebagai keponakannya melanjutkan kisah-kisah Oom saya, yang sudah lama menghilang, tidak menyapa pembaca.

Untunglah sebuah penerbit telah membukukan kisah-kisah Oom Jon itu (Emha Ainun Nadjib, “Secangkir Kopi Jon Pakir”, Mizan, 1992). Tapi sungguh, kalau nggak kebetulan bukunya saya temukan nyelip di antara tumpukan buku-buku lain yang sudah dilupakan, saya sendiri pun sudah lupa dan nggak nyangka lho kalau Oom Jon itu seorang storyteller.

O iya, sebagaimana Oom Jon, saya bertugas pula masak air, memilihkan kopi, meraciknya dalam cangkir-cangkir kopi kepada Anda sekalian. Nggak kalah dengan kopinya Starbuck atau Coffee Been lho.  Ini kopi, kopi asli dalam negeri dan dijamin halal.

Kalau Oom saya namanya Jon, kenapa saya Dul? Lebih keren mana Jon sama Dul. Dul belum tentu nggak keren lho. Ketika Rano Karno bikin sinetron panjang dan populer, tokohnya Si Dul bukan? Anaknya penyanyi Ahmad Dani hasil perkawinannya dengan Maia, cukup dipanggil Al, El, dan Dul bukan? Jadi Dul, tak kalah dengan Jon lho.

Dulu Oom Jon bilang bahwa kemunculannya merupakan “kebebasan kecil” yang perlu disyukuri. Saya kira ada alasan khusus mengapa Oom Jon memakai istilah “kebebasan kecil”, bukan “kebebasan” saja.

Ya, benar, tampaknya hal itu terkait erat dengan rezim yang berkuasa, Orde Baru, yang oleh para pengkritiknya, saya kira termasuk Oom Jon suka membatasi kebebasan. Kalau zaman sekarang saya tegaskan bahwa saya tidak memakai lagi istilah “kebebasan kecil” itu. Kecuali, “kebebasan” saja.

Kalau begitu mungkin Anda akan serempak interupsi. Kalau sampeyan berani menulis “kebebasan”, mengapa masih ada kasus Prita Mulyasari, Luna Maya, dan lain-lain? Saya akan menjawab, bahwa setidaknya sekarang ini kita telah berada dalam zaman “kebebasan politik”.

Konstitusi kita telah diamandemen, dimana pasal-pasal mengenai hak asasi yang menggarisbawahi kebebasan berpendapat dan berekspresi, telah berkembang sedemikian rupa.

Tak ada lagi monopoli pengatur pemberitaan, sebagaimana diperankan Kementerian Penerangan pada masa lalu. Tak ada lagi pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Kalau mau bikin media bebas kok. Yang menentukan hidup matinya usaha media Anda, publik. Pemerintah, tak perlu lagi repot-repot mengkontrol media segala.

Tapi, ya itu, bebas pada era “kebebasan” mestinya harus semakin bertanggung jawab bukan? Pak George Junus Aditjondro boleh membuat buku yang saat ini bikin geger “Membongkar Gurita Cikeas di Balik Kasus Bank Century”, maka dia tentu juga harus berani bertanggung jawab.

O iya, kenapa sih nama Oom saya Pakir. Itu adalah sebuah sikap. Aslinya Fakir. Dengan lidah Jawa ndeso menjadi Pakir. Sumber akidahnya ialah ayat Allah “Antumul-fuqaraa ‘indallaah” kalian ini semua fakir dihadapan Allah. Wah, ada sumber akidah segala rupanya. Jangan lupa sumber inspirasinya kan jebolan (bukan lulusan lho ya) Pondok Nggontor, Cak Nun yang oleh sebuah majalah pria dewasa saat itu dijuluki Kiai Mbeling.

Fakir itu beda dengan miskin, walaupun sering digabungkan sebagai fakir miskin, sebagaimana dalam salah satu pasal konstitusi kita, “Fakir miskin dipelihara oleh negara”. Dalam fiqih zakat, dibedakan antara yang fakir dan yang miskin.

Fakir adalah orang yang tidak mempunyai kecukupan harta untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. Sedangkan miskin adalah orang yang sama sekali “tidak mempunyai apa-apa”. Tentu saja ukurannya adalah ukuran umum yang berlaku.

Kalangan ilmuwan sosial mengembangkan definisi miskin dengan pendapatan minimal mereka. Dalam konteks ini, yang dimaksud tepatnya bukan “miskin” tetapi fakir, karena miskin tentu mereka yang tak berpendapatan.

Fakir itu orang yang bekerja tetapi pendapatannya tidak cukup, alias di bawah Upah Minimal Regional (UMR). Bahkan di atas UMR pun masih dirasa tak cukup, apabila menilik perkembangan harga-harga yang melambung tak terkira. Maka, kalau demikian, yang perlu dientas adalah kefakiran, tak sekedar kemiskinan.

Anda mungkin nyeletuk, dengan mengatakan pendapatannya tak cukup-cukup juga padahal sudah profesor atau direktur perusahaan, dan kemudian minta dimasukkan ke kategori fakir. Enak saja. Upah Anda jauh di atas UMR bukan? Mobil Anda tiga bukan? Sepatu Anda mereknya Belly bukan? Jam tangan Anda, minimal Rolex bukan? Kok masih ngaku fakir?

Tapi mungkin Anda benar. Kita semua suka merasa fakir, suka merasa tak cukup. Perut kita cuma sebesar ini, tapi kalau lupa diri semua bisa kita makan, entah aspal, komputer, mobil pemadam kebakaran, alat-alat medis, apa pun. Gaji seratus juta rupiah, masih saja tak cukup, kalau kita merasa itu tak cukup. Tapi, bagaimana dengan yang gajinya dua juta per bulan tapi merasa cukup?

Kita semua fakir di hadapan Allah, tetapi jangan suka mengaku fakir, karena dua gunung emas pun digenggaman Anda, masih diaku tak cukup-cukup. Ya begitulah manusia, yang kata Pak Dalang Ki Anom Suroto, “menungso” alias manusia itu, “menus-menus tur ngongso”, suka rakus, suka melebihi batas.

Mohon maaf tak bermaksud berkhotbah lho. Ini hanyalah perkenalan. Izinkanlah, saya, Dul Pakir, akan menemui Anda pada kisah-kisah berikutnya. Salam hangat ya! (***)

Penulis adalah dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009