Jakarta (ANTARA News) - Pengamat hukum tata negara Dr Irmanputra Sidin mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak terkait dengan nasib Hendarman Supandji sebagai jaksa agung.

Irman kepada pers di Jakarta Rabu malam mengemukakan, makna putusan itu menyatakan bahwa UU Kejaksaan itu produk yang melanggar UUD dan oleh karena itu segala keputusan presiden tidak bisa disalahkan karena presiden hanya berpegang pada UU tersebut.

"Segala tindakan presiden tidak bisa disalahkan karena yang salah UUnya. Presiden tidak memberhentikan Hendarman itu tidak keliru karena memang UU Kejaksaan yang tidak mengatur secara jelas sebelum dibatalkan oleh MK," ujar Irman.

MK dalam putusannya, menurut Irman, sama sekali tidak menyalahkan keputusan presiden, Menurut dia, kalaupun MK mau menyalahkan kepres itu bahwa kepres itu inkonstitusional maka harus dinyatakan dalam putusannya dan bukan pernyataan dalam konferensi pers yang digelar MK.

"Dalam putusan MK yang tertulis sama sekali tidak ada keputusan yang mengatakan keppres inkonstitusional. Saya juga heran mengapa MK dalam konpersnya menyebut jaksa agung inkonstitusional."

"Putusan MK yang tertulis dan konpers meskipun itu dilakukan oleh MK berbeda maknanya karena yang dilihat dalam negara hukum dan mengikat adalah putusan MK yang tertulis dan itu tidak pernah memerintahkan keppres tersebut batal demi konstitusi," katanya.

Menurut Irman, kalau hakim MK mau memutuskan bahwa keppres itu ilegal, seharusnya memang menyebut itu secara tegas dalam putusannya. Saat ini terkesan putusan MK menjadi alat artikulasi konstitusinal kepada Kejaksaan Agung bahwa presiden mau mengganti jaksa agung.

"Maksudnya jangan sampai keputusan MK itu disebabkan karena pernyataan presiden sebelumnya yang memang berniat untuk mengganti jaksa agung. Apakah jika presiden tidak mengatakan akan mengganti jaksa agung MK berani menyatakan keppres itu ilegal. Jangan sampai presiden mau ganti jaksa agung tapi menggunakan mulut MK," katanya.

Putusan MK ini memang mengandung multitafsir dan ini sangat disayangkan. MK seharusnya makin tegas dalam putusannya dan tidak memberikan peluang multitafsir. "Inilah yang jadi masalah, MK seperti telah menjadi alat artikulasi konstitusioanl dan larut dalam sebuah tarian politik yang tidak mendukung supermasi konstitusi," katanya.

Ketika ditanya mengenai posisi Hendarman dan segala proses hukum serta produk hukum yang telah dilakukan Hendarman, menurut Irman, keputusan MK itu tetap menegaskan bahwa segala tindakan Hendarman sebagai jaksa agung juga tetap sah hingga diberhentikan sebagai jaksa agung oleh presiden.

Masyarakat juga tidak perlu khawatir bahwa produk hukum yang dihasilkan Hendarman selama ini.

"Putusan itu memberikan dua kemungkinan, yaitu presiden seyogyanya segera mengganti Hendarman karena alasan putusan MK atau karena alasan subjektif presiden sendiri. Tafsir kedua, kalaupun SBY tidak mengganti Hendarman maka kondisi jabatan jaksa agung seperti yang digariskan oleh MK itu akan berlaku setelah pejabat jaksa agung baru," katanya.

Sedangkan mengenai implikasi keputusan MK yang menegaskan bahwa masa jabatan jaksa agung akan habis kalau diberhentikan oleh presiden atau presiden habis masa jabatannya. Karena itu, jika tidak diberhentikan presiden, maka masa jabatan jaksa agung ikut dalam masa jabatan presiden. Jabatan presiden bisa berakhir karena meninggal dunia, mengundurkan diri, diberhentikan dan habis masa jabatannya.

Selama tidak diberhentikan presiden tetap sah sebagai jaksa agung. "Jadi selama presiden tidak meninggal dunia sampai 2014 dan jaksa agung tidak diberhentikan, Hendarman tetap jaksa agung. Kecuali ternyata presiden meninggal dunia, maka disitu berhenti juga masa jabatan Hendarman sesuai konstitisui," katanya.

Implikasi


Anggota Komisi III DPR, Nudirman Munir menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan posisi Jaksa Agung Hendarman Supandji adalah illegal membawa implikasi hukum di Tanah Air.

"Putusan MK itu memberikan konsekuensi serius terhadap sistem hukum kita dan berdampak psikologis bagi Kejaksaan Agung sendiri," ujarnya.

Menurut dia, selama ini masyarakat dan DPR hanya menerima sistem hukum `kebiasaan` yang dipakai ketika presiden mengangkat seorang jaksa agung. "Selama ini kita menerima sistem hukum `kebiasaan` ketatanegaraan. Tapi, sistem itu tidak diterima oleh MK," kata Nudirman.

Politikus dari Fraksi Partai Golkar ini meminta agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mengambil langkah-langkah terkait dengan putusan MK. "Menjelang pergantian jaksa agung, presiden harus mengangkat pejabat sementara pengganti Hendarman, bisa Wakil Jaksa Agung Darmono," katanya.

Adapun Ketua Komisi III Benny Kabur Harman mengatakan, pihaknya memberikan apresiasi terhadap putusan MK berkaitan dengan kontroversi pengangkatan jaksa yang merujuk pasal 22 ayat 1 huruf D UU Kejaksaan.

"DPR dan pemerintah segera melakukan revisi atau legislatif review terhadap UU Kejaksaan terkait pasal itu untuk memberikan kepastian hukum, apakah jabatan jaksa agung itu sejalan dengan masa jabatan presiden," katanya.

Kendati demikian, bisa saja Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden untuk mengangkat kembali Hendarman sebagai jaksa agung. "Bisa saja, pilihannya begitu, presiden mengangkat lagi Hendarman atau angkat jaksa agung baru," kata Benny.

(ANT/S026)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010