New York (ANTARA News) - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon mengecam pemerkosaan massal yang terjadi di belasan desa di wilayah bergejolak bagian timur Republik Demokratik Kongo (DRC) dan meminta para pelakunya diseret ke pengadilan.

"Sekjen PBB meminta pihak berwenang Republik Demokratik Kongo untuk melakukan investigasi terhadap insiden tersebut dan mengadili para pelakunya serta terus berupaya mengakhiri keadaan tidak aman di bagian timur negara tersebut," kata Juru Bicara Sekjen PBB, Martin Nesirky, di Markas Besar PBB, New York, Selasa.

Karena situasi yang demikian serius itu, kata Nesirky, Sekjen Ban Ki-moon telah memutuskan untuk segera mengirim Asisten Sekjen PBB dari Departemen Operasi Penjaga Perdamaian, Atul Khare, ke DRC.

Ban juga telah menginstruksikan utusan khususnya untuk urusan Kekerasan Seksual di Daerah Konflik, Margot Wallstrom, untuk memimpin langkah-langkah yang diambil PBB dalam menindaklanjuti kasus pemerkosaan massal di DRC itu.

Seperti yang dilaporkan PBB, tim PBB urusan hak asasi manusia telah memastikan bahwa para anggota milisi Mai-Mai dan Pasukan Demokratik Pembebasan Rwanda (FDLR) --kelompok bersenjata etnik Hutu yang terlibat dalam pembersihan etnis di Rwanda tahun 1994, melakukan serangkaian serangan ke sejumlah desa di propinsi Kivu Utara di DRC selama lebih dari empat hari pada awal Agustus.

Sedikitnya 154 warga sipil di 13 desa yang berada di jalur sepanjang 21 kilometer di daerah Banamukira mengalami pemerkosaan antara 30 Juli dan 2 Agustus.

Para penyerang juga menjarah rumah-rumah serta menghadang jalan dan melarang para warga berkomunikasi dengan dunia luar.

Ban, ujar Nesirky, menekankan pentingnya semua kelompok bersenjata meletakkan senjata mereka dan maju ke proses perdamaian.

Republik Demokratik Kongo (DRC) --untuk membedakan dengan negara tetangganya Republik Kongo, merupakan negara yang telah bertahun-tahun dilanda perang saudara.

Kesepakatan damai dan pembentukan sebuah pemerintahan transisi telah ditandatangani pada tahun 2003.

Kendati demikian, pertikaian secara sporadis terus berlangsung, terutama di wilayah bagian timur.

Dalam lima tahun terakhir, konflik yang terus bergejolak di negara bekas jajahan Belgia tersebut, melibatkan tentara Pemerintah DRC --yang didukung Zimbabwe, Angola dan Namibia-- dengan milisi pemberontak --yang didukung Rwanda dan Uganda.

Di wilayah bagian timur, perkosaan dan kekerasan seksual lainnya terhadap perempuan kerap terjadi dan disebut-sebut merupakan yang terburuk di seluruh dunia.

Sebuah laporan mengungkapkan ada lebih dari 8.000 perempuan DRC mengalami pemerkosaan sepanjang tahun 2009, yang dilakukan oleh faksi-faksi yang bertikai, baik tentara pemberontak maupun tentara pemerintah.

Konflik berdarah selama lima tahun terakhir dilaporkan telah menewaskan jutaan warga, termasuk mereka yang terkena dampak perang hingga mengalami kelaparan dan didera berbagai penyakit.

Melalui mandat Dewan Keamanan tahun 1999, PBB mengirimkan pasukan penjaga perdamaian untuk memantau pelaksanaan perjanjian Lusaka tahun 1999, yakni kesepakatan gencatan senjata antara DRC dengan kelima negara di kawasan Afrika tengah yaitu Zimbabwe, Angola dan Namibia.

Pasukan penjaga perdamaian PBB di DRC (MONUSCO) --sebelumnya bernama MONUC-- saat ini berkekuatan lebih dari 22.000 personil yang berasal dari puluhan negara, termasuk Indonesia.(*)
(T.K-TNY/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010