Jakarta (ANTARA News) - Direktur Eksekutif "Center for Indonesia Reform" (CIR) Drs Sapto Waluyo, MSc berpendapat, DPR-RI perlu segera membentuk panitia khusus (Pansus) untuk memeriksa kinerja detasemen khusus (Densus) 88 Polri yang awal pekan ini menangkap Abu Bakar Ba`asyir.

"Selama ini terjadi distorsi dalam penegakan hukum. Presiden menyatakan terkejut dengan penangkapan Abu Bakar Ba`asyir padahal Densus 88 berada di bawah kendali Polri, dan Kapolri bertanggung jawab langsung kepada presiden. Jadi Densus bekerja untuk siapa?," katanya di Jakarta, Selasa.

CIR merupakan lembaga kajian strategi dan kebijakan, serta rujukan informasi untuk masalah ekonomi, politik, sosial-budaya, sains-teknologi, hukum dan hak asasi manusia (HAM). Lembaga ini didirikan pada 30 November 2001.

Menurut Sapto Waluyo, sepanjang 2003-2009, Densus 88 telah menangkap sebanyak 500-an orang yang dituduh terlibat dalam tindak terorisme. Sebanyak 40 orang antaranya tertembak mati.

Sepanjang Januari - Mei 2010 saja, Polri telah menangkap sebanyak 58 tersangka, dan 13 di antaranya tewas, katanya.

Menurut dia, hasil Pansus DPR itu akan berguna buat masyarakat sekaligus menjadi masukan awal bagi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang baru terbentuk," kata penulis buku "Kontra Terorisme: Dilema Indonesia di Masa Transisi" (2009) ini

Penangkapan Abu Bakar Baasyir, mantan Amir Majelis Mujahidin Indonesia yang kini Amir Jamaah Anshorut Tauhid, ini dilakukan Densus 88 di daerah Banjar, Ciamis, Jawa Barat, Senin (9/8) pukul 08.15 WIB.

Pendiri Pondon Pesantren Ngruki, Solo, itu ditangkap bersama lima orang lainnya.

Polisi menduga Baasyir terkait dengan pelatihan militer jaringan teroris di Aceh Besar karena menunjuk Dulmatin sebagai pemimpin latihan dan menerima laporan rutin seputar kegiatan di Aceh itu.


Harus dibuktikan

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Konferensi Cendekiawan Islam Internasional (ICIS) KH Hasyim Muzadi menyatakan, penangkapan Abu Bakar Baasyir dengan tuduhan memiliki kaitan dengan pelaku terorisme, harus dibuktikan.

"Perlu pembuktian kalau Baasyir salah, jangan sekadar sangkaan," kata mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu usai pertemuan tokoh lintas agama di kantor sekretariat ICIS di Jakarta.

Menjawab pertanyaan wartawan, Hasyim mengatakan, ia tidak bermaksud meragukan polisi, namun masyarakat ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Yang punya datanya kan polisi. Jadi, ya, buktikan saja," katanya.

Terkait dengan ancaman terorisme di Indonesia, Hasyim mengatakan, diperlukan penanganan yang komprehensif dan sistematis untuk menghilangkannya.

"Terorisme itu sama seperti korupsi. Kalau penanganannya tidak sistematis, yang bisa dilakukan hanya menangkap pelakunya tetapi tidak bisa menghilangkan terorismenya itu sendiri," katanya.

Apalagi jika terorisme itu terkait dengan persoalan ideologi, masalahnya tidak akan cukup diatasi dengan kekerasan, katanya.

Menurut Hasyim, ada beberapa pendekatan yang harus dipakai untuk menangani terorisme, yakni pendekatan ideologis, kebangsaan, intelijen, serta represif yang berujung di pengadilan.

"Penyelesaian melalui pengadilan memang kelihatan lambat, tapi tuntas, karena semua bisa menerima," katanya.(*)
(T.A035/R013/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010