Bogor (ANTARA News) - Sebuah riset di Institut Pertanian Bogor menemukan bahwa Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur memiliki masalah dalam pengelolaan kawasan pascatambang batubara dalam konteks kualitas lingkungan, ekonomi dan sosial.

"Kebijakan pengelolaan kawasan pascatambang batubara daerah itu yang belum terintegrasi dengan pengelolaan lingkungan menyebabkan peningkatan kerusahakan lahan setiap tahun," kata Dr Ir Nurita Sinaga, M.Si di Bogor, Rabu.

Pernyataan itu disampaikan Nurita Sinag yang baru menyelesaikan S3 Program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) usai wisuda tahap IV tahun akademik 2009/2010 di Kampus IPB Darmaga.

Dia menjelaskan bahwa penelitian dengan tema "Disain Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Pascatambang Batubara Berkelanjutan:Studi Kasus Kabupaten Kutai Kartanegara" itu memfokuskan kajian pada tiga dimensi, yakni ekologi, ekonomi dan sosial.

Kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan pascatambang batubara, semestinya tetap mempertimbangkan keseimbangan tiga dimensi dimaksud agar berkelanjutan.

"Untuk itu, diperlukan penelitian kebijakan dan strategi pengelolaan lingkungan kawasan pascatambang batubara secera berkelanjutan," katanya.

Riset yang dilakukan Nurita Sinaga sejak April 2008-Desember 2009 itu dilakukan didua lokasi kawasan lahan pascatambang batubara Kabupaten Kartanegara, Kecamatan Tenggarong Seberang oleh perusahaan PT Kitadin dan Kecamatan Sebulu perusahaan PT Tanito Harum.

Pemilihan kedua kecamatan secara "purposive" karena terdapat usaha pertambangan batubara pemegang izin perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) dan kuasa pertambangan (KP) yang cukup luas wilayah pascatambang batubaranya.

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertama, analisis faktor fisik lingkungan (tanah, air, vegetasi) melalui analisis laboratorium (untuk air dan tanah) dan uji petak pengamatan untuk vegetasi.

Kedua, mengukur indeks keberlanjutan dengan menggunakan "multi dimensional scaling" (MDS) sehingga dapat dinilai skor dan diketahui faktor pengungkit yang paling sensitif.

Metode ini modifikasi dari Rapfish (multi disciplinary rapid aprrasial technique) untuk mengevaluasi "sustainability of fisheries", sehingga diketahui nilai hasil "Appraisal Post Coal Mining Sustainable" (APCMS).

Sedangkan ketiga, analisis prospektif melihat kebutuhan pemangku kepentingan di masa depan dengan menggabungkan faktor kunci berkelanjutan kawasan pascatambang batuvara dan faktor kebutuhan pemangku kepentingan.

Hasilnya, kata dia, merupakan faktor kunci utama keberlanjutan kawasan pascatambang batubara di Kutai Kartanegara, kemudian disusun skenario pengelolaan kawasan berkelanjutan sehingga skor berkelanjutan meningkat.(*)
(A035/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010