Jakarta (ANTARA News) - Suryadharma Ali, Menteri Agama (Menag) yang juga Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), mengatakan bahwa bangsa Indonesia kembali kehilangan tokoh besar dengan wafatnya mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ( PBNU) dan mantan Ketua MPR/DPR, KH.Dr.Idham Chalid, di Jakarta, Minggu pagi, dalam usia 88 tahun.

"Beliau adalah tokoh panutan. Bukan hanya keluarga besar PPP yang kehilangan, tapi seluruh bangsa Indonesia," katanya di Jakarta, Minggu.

Menurut Suryadharma Ali, Idham Chalid adalah tokoh bangsa, tokoh agama, tokoh organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU), dan juga deklarator sekaligus pemimpin partai, Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Pengabdian dan jasa yang telah diberikan oleh Idham Chalid, putra kelahiran Setui, Kalimantan Selatan, pada 27 Agustus 1922 itu tidak akan pernah dilupakan oleh bangsa dan negara ini, katanya.

Menurut buku Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid yang disunting oleh Arief Mudatsir Mandan, kiprah dan peran Idham Chalid tergolong istimewa. Ia bukanlah sosok yang berasal dari warga kota besar.

Ia hanyalah putra kampung yang merintis karier dari tingkat yang paling bawah, sebagai guru agama di kampungnya. Tapi kegigihannya dalam berjuang, dan kesungguhannya untuk belajar dan menempa pribadi, telah mengantar dirinya ke puncak kepemimpinan nasional yang disegani.

Kalangan pengamat politik Indonesia, banyak mencatat bahwa Idham Chalid merupakan salah seorang dari sedikit politisi Indonesia yang mampu bertahan pada segala cuaca.

Ia pernah menjadi Ketua Partai Masyumi Amuntai, Kalimantan Selatan, dan dalam Pemilu 1955 berkampanye untuk Partai NU. Ia pernah pula menjadi Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Ali-Roem-Idham, dalam usia yang masih sangat belia, 34 tahun. Sejak itu Idham Chalid terus menerus berada dalam lingkaran kekuasaan. Di organisasinya, ia dipercaya warga nahdliyyin untuk memimpin NU di tengah cuaca politik yang sulit, dengan memberinya kepercayaan menjabat sebagai Ketua Umum Tanfidziah PBNU selama 28 tahun (1956 - 1984).

Di samping berada di puncak kekuasaan pimpinan NU, ia juga dipercaya menjadi Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo (PNI), 1956 - 1957. Saat kekuasaan Bung Karno jatuh pada 1966, Idham Chalid yang dinilai dekat dengan Bung Karno ini tetap mampu bertahan.

Bahkan, Presiden Soeharto memberinya kepercayaan selaku Menteri Kesejahteraan Rakyat (1967 - 1970), Menteri Sosial Ad Interim (1970 - 1971) dan setelah itu Ketua MPR/DPR RI (1971 - 1977) dan Ketua DPA (1977 -1983).

Ketika partai-partai Islam berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan, pada tanggal 5 Januari 1973, bekas guru agama Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo ini menjadi ketua, sekaligus Presiden PPP.

Dari sisi wawasan keilmuwan dan kemahiran, sosok Idham Chalid dikenal sebagai ulama yang mahir berbahasa Arab, Inggris, Belanda, dan Jepang. Ia juga menyandang gelar doctor honoris causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Idham Chalid merupakan khazanah yang tak ternilai bagi bangsa ini, khususnya PPP, tulis buku yang diterbitkan Pustaka Indonesia Satu itu.

Menurut Arief Mudatsir Mandan, langkah-langkah cerdik dan cermat yang dilakukan oleh pemimpin seperti KH Idham Chalid semacam itu perlu dipelajari oleh generasi sekarang ini. Kerendahan hati merupakan sifat Kiai Idham Chalid, tidak hanya pada para kiai, pada orang biasapun bisa bergaul dengan supel. Ia selalu menjalin hubungan dengan berbagai kalangan dan akrab dengan siapa saja. Sikap ramah dan simpatik itulah salah satu modal kesuksesan kepemimpinannya sehingga bertahan dalam waktu yang cukup lama.

"Idham Chalid adalah pemimpin yang layak diteladani," kata Arief yang mantan anggota DPR Komisi I itu.
(ANT/P003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010