Jakarta (ANTARA News) - Greenpeace mendesak kepada pemerintah untuk melakukan langkah nyata dengan segera menerapkan moratorium pengusahaan hutan sebagai tindak lanjut nota pernyataan bersama (Letter of Intent/LoI) Indonesia dan Norwegia pada sektor kehutanan.

"Moratorium merupakan respon positif komitmen presiden, tetapi yang kita butuhkan adalah tindakan segera moratorium, karena konversi hutan masih berlangsung," kata Juru kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Zulfahmi, dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis.

Zulfahmi mengatakan pemerintah Indonesia bisa dipermalukan oleh dunia internasional apabila tidak segera melakukan moratorium karena pembukaan hutan secara masif masih berlangsung.

Greenpeace sendiri telah melakukan pengecekan ke berbagai lokasi di Sumatra dan menemukan pembukaan hutan masih berlangsung.

Zulfahmi mencontohkan beberapa perusahaan pemegang izin HTI masih melakukan aktivitas seperti PT Rimba Hutani Mas di Sumatra Selatan, PT Tebo Multy Agro di Jambi, PT Artelindo Wiratama di Riau, PT Riau Andalan Pulp and Paper di Riau dan PT Sumatera Riang Lestari di Hutan Kerumutan Riau.

"Pekan lalu Presiden telah mendeklarasikan moratorium penebangan hutan selama dua tahun. Tetapi ini tidak akan bisa menyelamatkan sekitar 1,8 juta hektare hutan yang telah ditetapkan, dari kehancuran tanpa intervensi terhadap konsesi yang telah ada. Tanpa itu Presiden tidak akan bisa mencapai komitmennya menurunkan emisi Indonesia hingga 26 persen dengan atau tanpa bantuan internasional," katanya.

Jika Indonesia ingin menurunkan emisi secara cepat dan signifikan, moratorium ini harus diaplikasikan dalam bentuk Keputusan Presiden untuk menghentikan semua konversi lahan gambut dan hutan, baik konsesi baru maupun yang telah ada.

Untuk konsesi yang telah ada, ujar Zulfahmi, yang harus dihentikan adalah konsesi yang berada di kawasan gambut dan hutan, dengan alternatif pemindahan lahan ke kawasan nonhutan serta kawasan yang telah terdegradasi, dengan syarat harus mengutamakan kepentingan penduduk setempat.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Forum Masyarakat untuk Penyelamatan Semenanjung Kampar (FMPKS), Deli Saputra mengatakan masyarakat Kampar tidak menginginkan dana internasional untuk perubahan iklim seperti dari Norwegia.

"Kami tidak butuh dana perubahan iklim. Yang penting hutan kami tetap lestari. Tidak rusak," katanya.

Deli mengatakan masyarakat Teluk Meranti telah berkali-kali meminta pemerintah menghentikan perusahaan-perusahaan yang melakukan perusakan hutan, karena kehidupan mereka sangat bergantung kepada hutan.

"Masyarakat lokal seperti kami adalah yang sangat rentan dan paling menderita jika hutan Kampar hancur. Itulah mengapa kami menyambut baik komitmen moratorium dari Presiden, dan mendesak pemerintah untuk segera beraksi menghentikan perusakan hutan," katanya.

Tetapi Deli juga mengatakan apabila memang ada dana perlindungan hutan dari negara lain, mereka berharap dana itu juga akan memberi kesejahteraan bagi masyarakat lokal.

Greenpeace mengatakan moratorium adalah bagian dari kesepakatan Indonesia-Norwegia, di mana Norwegia akan menyediakan dana 1 miliar dolar AS untuk merancang strategi penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) di Indonesia.(*)
(T.N006/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010