Cirebon (ANTARA) - "Bukan tidak setuju impor, tapi regulasinya harus diutamakan dan seperti apa?," ujar seorang petambak garam asal Kabupaten Cirebon Saepudin, menanggapi impor garam yang dilakukan pemerintah.

Sudah hampir tiga tahun harga garam petani terus anjlok, bahkan pada 2018 sempat tidak laku terjual, karena produksi pada waktu itu sangat banyak, setahun sebelumnya di 2017 harga mencapai rekor tertinggi yaitu Rp2.500 sampai Rp4.000 per kilogram.

Anjloknya harga garam rakyat, dirasakan hingga tahun 2021 ini, di mana para petambak garam belum juga mendapat harga layak yang bisa menguntungkan.

Kondisi tersebut membuat para petambak garam lebih memilih menyimpan hasil produksi mereka di gudang, areal tambak, bahkan sampai tepi jalan pantura.

Para petambak terus berharap harga akan bersahabat dengan mereka, namun harapan itu tidak kunjung datang. "Biasanya kalau masuk musim hujan harga akan naik, tapi sampai saat ini sama saja," tutur Saepudin.

Baca juga: Kemenperin dukung target 2021 serapan garam lokal capai 1,5 Juta ton

Harga garam rakyat saat ini Rp400 per kilogram, dengan syarat sudah berada di tepi jalan serta telah dimasukkan ke dalam karung. Tentu harga tersebut tidak bisa menutupi ongkos produksi para petambak garam.

Turunnya harga garam rakyat disinyalir adanya kuota impor yang terus meningkat, sehingga garam rakyat tidak dapat terserap.

Namun alasan yang sering digunakan oleh pemerintah terkait tidak terserapnya garam rakyat oleh industri, karena Natrium klorida (NaCl) nya kurang dari 97 persen, sebab industri menetapkan NaCl garam harus di atas 97 persen.

Padahal ketika mengacu pada tahun 2017, di mana waktu itu impor sulit, garam rakyat di Kabupaten Cirebon ludes terjual dan bahkan harganya meningkat tajam, yang biasa hanya dihargai Rp400 per kilogram, menjadi Rp4.000 per kilonya.

"Pas tahun 2017 garam kita laku, banyak industri yang memakai, karena pada waktu itu impor sulit," katanya.

NaCl jadi alasan

Natrium klorida (NaCl) garam rakyat yang kurang dari 97 persen terus menjadi alasan ketika produksi menumpuk dan harga anjlok, setiap ada kunjungan pejabat pemerintah ke sentra garam, pasti berencana akan meningkatkan NaCl nya.

Rencana itu hanya rencana, karena sampai saat ini program yang dimaksud juga tidak kunjung datang, padahal dari tahun ke tahun produksi garam petani terkendala NaCl.

Peningkatan NaCl pada garam rakyat pasti bisa dilakukan, apabila pemerintah serius dan mau menyerap ketika para petambak bisa memproduksinya. Sayangnya meskipun petambak bisa menaikkan NaCl garam mereka, tapi tidak ada jaminan garam akan diserap.

Baca juga: Anggota DPR ingatkan garam di rakyat banyak belum terserap

Karena menurut para petambak, meskipun mereka sudah menaikkan NaCl garam sesuai kebutuhan industri, tapi kenyataannya tidak juga terserap pasar, padahal ongkos produksi lebih tinggi ketimbang garam biasa.

"Produk lokal yang tidak layak itu hanya omong kosong. Kalau memang tidak layak ya harus diedukasi dan diperbaiki, bukan malah terus impor, padahal garam kita menumpuk tidak laku," kata petambak lain Ismail Marzuki.

Stok garam rakyat

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon mencatat dari tahun 2018 sampai 2020 terdapat 26.995 ton garam rakyat yang belum terserap, dengan rincian 2.848 ton kualitas satu dan 24.147,95 ton kualitas dua.

Kabupaten Cirebon menjadi salah satu produsen garam rakyat terbesar di Indonesia, di mana setiap tahunnya kurang lebih 1.557,8 hektare lahan tambak garam dikelola oleh masyarakat.

Tapi untuk potensi lahan garam dari data yang ada yaitu seluas 3.140 hektare, tersebar di delapan kecamatan yakni Losari, Gebang, Penagenan, Astanajapura, Mundu, Gunungjati, Suranenggala dan Kecamatan Kapetakan.
Pekerja mengangkut garam ke dalam gudang di desa Santing, Losarang, Indramayu, Jawa Barat, Rabu (24/2/2021). ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
Produksi garam rakyat di daerah Jawa Barat paling timur itu pernah mencapai rekor tertinggi pada tahun 2018 dengan jumlah 424.615,78 ton, karena pada waktu itu hampir semua lahan memproduksi garam.

Sementara produksi terendah dari data yang ada yaitu pada tahun 2020, di mana dalam setahun produksi garam rakyat di lumbung garam Indonesia hanya berjumlah 2.670,78 ton.

Turunnya produksi garam rakyat di Kabupaten Cirebon, bukan karena lahan yang hilang, tapi disebabkan anjloknya harga garam ditingkat petambak garam.

Sehingga membuat sebagian besar para petambak pada tahun lalu memilih tidak memproduksi garam, mengingat garam mereka masih menumpuk tak laku dijual.

Impor garam

Pemerintah telah memutuskan mengimpor garam sebanyak 3,07 juta ton, hal itu diputuskan pada saat rapat antarkementerian, untuk memenuhi kebutuhan tahun 2021.

Impor tersebut meningkat 13,88 persen dibanding tahun 2020 yang berkisar 2,7 juta ton garam. Sedangkan untuk kebutuhan garam secara nasional pada 2021 diperkirakan mencapai 4,67 juta ton.

Kementerian Kelautan dan Perikanan memperkirakan produksi garam nasional pada tahun 2021 yaitu 2,1 juta ton. Data tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan garam sebanyak 2,57 juta ton, dan dipenuhi melalui skema impor dari luar negeri.

Akan tetapi pemerintah berencana untuk impor garam pada tahun 2021 sebanyak 3,07 juta ton, sehingga ada kelebihan 0,5 juta ton atau 500 ribu ton garam impor.

Pada rapat kerja bersama Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan untuk masalah impor garam, telah diputuskan sebanyak 3 juta ton, untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri.

"Dalam rapat dengan Menko Perekonomian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian, berdasarkan neraca stok produksi kita ada di 2,1 juta ton, dan impor diputuskan 3 juta ton," katanya.

Anggota Komisi IV DPR RI dari Partai PDI Perjuangan Ono Surono mengatakan akan mengawasi impor garam yang dilakukan pemerintah, agar kebijakan itu tidak memberatkan pada para petambak garam rakyat.

Baca juga: Menteri Trenggono: Impor garam sudah diputuskan

Menurutnya persoalan garam di Indonesia ini tidak kunjung selesai, karena adanya perbedaan data antara Kementerian Perdagangan dan juga KKP.

Seharusnya lanjut Ono, pemerintah bisa mengetahui kebutuhan yang sesungguhnya, mana yang bisa dipasok garam lokal dan mana yang industri.

"Impor ini terkait neraca garam, di mana antara Kementerian Perikanan (KKP) dan Kementerian Perdagangan selalu berbeda," katanya.

Di luar masih adanya sengkarut pegaraman lokal, Pemerintah Pusat dan Daerah harus terus jelas pada pemihakan petani garam lokal dalam setiap kebijakannya. Kebijakan ekspor maupun impor menjadi hal yang wajar di dunia perdagangan, atau dalam sisi ekonomi makro untuk kestabilan harga di masyarakat. Namun ketika satu sisi berlebihan maka tentu ada yang salah dalam tata kelola sebuah kebijakan.

Perlu ditegaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai garis pantai terpanjang di dunia, akan tetapi ketika sumber daya garam ada dan tidak dimaksimalkan, kemudian bergantung ke negara asing, maka hal itu menjadi ironis.

Contoh sederhana ketika garam rakyat terus tak terserap dan tidak laku, maka lambat laun mungkin tidak ada lagi yang mau memproduksinya, untuk itu pemerintah seharusnya mempunyai kebijakan yang pro dengan produk lokal.

Kini petani garam lokal di Indonesia menantikan kebijakan-kebijakan yang memberdayakan mereka, yang ujungnya sangat diharapkan garam lokal menjadi tuan rumah di Tanah Airnya sendiri.

Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021