Backdoor listing umumnya dilakukan oleh suatu perusahaan yang tidak memenuhi persyaratan “go public” atau tidak mau perusahaannya dicampuri oleh masyarakat, namun ingin mendapatkan akses ke bursa.
Jakarta (ANTARA) - Praktik “backdoor listing” atau akuisisi oleh perusahaan tertutup (non publik) terhadap saham publik atau perusahaan terbuka (Tbk) yang tercatat di pasar modal dinilai bisa menjadi salah satu aksi korporasi yang dapat ditempuh perusahaan terutama di saat krisis pandemi saat ini.

“Backdoor listing di bursa efek tidak dilarang. Tetapi sebaiknya jangan sampai merugikan investor maupun negara,” kata pengamat pasar modal Reza Priyambada dalam webinar “Mencermati Backdoorlisting di Bursa: Ada Risiko Bagi Investor”, di Jakarta, Selasa.

“Backdoor listing” merupakan cara mudah dan cepat bagi korporasi untuk masuk ke bursa tanpa perlu melewati berbagai persyaratan yang rumit untuk bisa mencatatkan sahamnya di bursa.

Baca juga: Indosat - Tri merger, Komisi I minta untuk berhati-hati

Belakangan, fenomena “backdoor listing” kembali menjadi isu hangat seiring dengan rencana aksi merger PT Indosat Tbk dengan Hutchison 3 Indonesia (Tri), yang mana Tri yang saat ini bukan merupakan perusahaan terbuka.

"Backdoor listing umumnya dilakukan oleh suatu perusahaan yang tidak memenuhi persyaratan “go public” atau tidak mau perusahaannya dicampuri oleh masyarakat, namun ingin mendapatkan akses ke bursa,” kata Reza.

Tidak adanya aturan yang jelas mengenai praktik “backdoor listing” di Indonesia menimbulkan ketidakpastian di pasar modal apakah diperbolehkan menurut undang-undang di Indonesia.

Tender offer

Sementara itu, pengamat ekonomi dan keuangan Yanuar Rizky mengatakan bahwa perlindungan investor menjadi hal yang mutlak diberikan oleh otoritas bursa.

Kewajiban melakukan penawaran tender wajib (tender offer) sebenarnya merupakan mekanisme yang bagus untuk melindungi kepentingan investor yang tidak setuju dengan rencana aksi korporasi melakukan backdoor listing.

“Namun kewajiban tender offer pada tahun 2008 dicabut karena alasan krisis untuk mempercepat restrukturisasi perusahaan. Hingga kini regulasi tersebut tetap diberlakukan. Jadi, sekarang posisinya tidak tender offer, juga tidak apa-apa,” ujar Yanuar.

Baca juga: Pengamat: Pasar respons positif rencana Indosat lepas 4.000 menara

Tender offer yang diatur dalam Peraturan OJK tersebut adalah penawaran untuk membeli sisa saham perusahaan terbuka yang wajib dilakukan oleh pemegang saham pengendali baru. Namun pada Pasal 23 POJK tersebut menyebutkan bahwa perubahan pengendali yang diakibatkan penggabungan usaha (merger) dikecualikan dari kewajiban tender offer.

Terkait wacana “backdoor listing” Tri terhadap Indosat, Wakil Ketua Komisi VI Martin Manurung mengaku agak khawatir, terutama terkait dengan kepemilikan saham Pemerintah di Indosat yang saat ini tersisa 14,6 persen.

“Ada potensi kepemilikan saham Pemerintah di Indosat akan terdilusi akibat merger dengan Tri,” ujarnya.

Untuk mencegah tidak terdilusi, pemerintah dapat menambah modal untuk menambah persentase kepemilikan saham. “Namun, langkah Ini kurang bijaksana bila dilaksanakan di tengah beban keuangan, vaksinasi, dan pemulihan ekonomi nasional yang berat," ujarnya.

Perlu dikaji opsi-opsi apa saja yang tak membebani keuangan negara saat ini. Tentu hal ini menunggu proposal merger dari Tri dan Indosat.

Martin mengatakan hal lain yang perlu diperhatikan adalah dampak dari merger terhadap pengembangan teknologi 5G di Indonesia.

Pandemi COVID-19 telah menunjukkan potensi ekonomi digital di Indonesia, dan negara harus mendukung pengembangan teknologi 5G. Bila merger Tri-Indosat dapat mempercepat transformasi infrastruktur digital, tentu sisi positif ini harus didukung.

Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021