Jakarta (ANTARA) - Direktur dan Komisaris PT Sharleen Raya (Jeco Group) Hong Arta Jhon Alfred divonis 2 tahun penjara karena dinilai terbukti menyuap mantan anggota Komisi V dari fraksi PDI Perjuangan Damayanti Wisnu Putranti dan bekas Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara Amran Hi Mustary senilai Rp11,6 miliar.

"Memutuskan, menyatakan terdakwa Hong Artha Jhon Alfred terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah bersama-sama melakukan berbarengan beberapa tindak pidana korupsi. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun dan denda sebesar Rp150 juta subsider kurungan selama 3 bulan," kata ketua majelis hakim Fashal Hendri di pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu.

Vonis yang berdasarkan dakwaan pertama pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat (1) KUHP tersebut sama dengan tuntutan JPU KPK.

"Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan dapat merusak citra Kementerian PUPR khususnya PBJN di hadapan masyarakat. Hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa sopan dan menyesali perbuatannya," ujar hakim Fashal.

Dalam perkara ini, Hong Artha John Alfred selaku Direktur dan Komisaris PT Sharleen Raya (Jeco Group) bersama-sama dengan Abdul Khoir selaku Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama dan So Kok Seng alias Aseng selaku Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa memberi uang sejumlah Rp8 miliar, Rp2,6 miliar dan Rp1 miliar yang masing-masing dalam bentuk dolar AS kepada Damayanti Wisnu Putranti selaku anggota DPR 2014-2019 dan Amran Hi Mustary selaku Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara.

Tujuan pemberian suap itu adalah agar Damayanti dan Amran mengupayakan agar Hong Arta mendapat paket proyek Program Aspirasi dari anggota Komisi V DPR RI di wilayah kerja BPJN IX Maluku dan Maluku Utara berdasarkan Daftar Isian Program dan Anggaran (DIPA) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Tahun Anggaran 2016.

Baca juga: Pengusaha dituntut 2 tahun penjara karena suap eks anggota DPR

Baca juga: Hong Artha segera disidang


Pertama, pemberian uang sejumlah Rp8 miliar dalam bentuk dolar AS untuk Amran Hi Mustari ditujukan demi pengangkatan Amran sebagai Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara.

Uang diserahkan pada 13 Juli 2015 dalam bentuk dolar AS. Sumber uang berasal dari Hong Arta sejumlah Rp3,5 miliar dan dari Abdul Khoir sejumlah Rp4,5 miliar. Uang diserahkan kepada Herry, Herry lalu menyerahkan Rp7 miliar ke Imran sedangkan Rp1 miliar diambil Herry.

Pada Juli 2015, Abdul Khoir kembali memberikan Rp1 miliar kepada Amran sebagai uang pengganti kekurangan suksesi selaku kepala BPJN IX.

Kedua, pemberian "dana satu pintu" sejumlah Rp2,6 miliar dalam bentuk dolar AS kepada Amran Hi Mustary untuk pengurusan paket proyek program aspirasi Komisi V DPR. Awalnya uang yang diminta Amran kepada Abdul Khoir adalah sejumlah Rp3 miliar.

Uang disepakati berasal dari beberapa sumber yaitu Hong Arta, Abdul Khoir, Komisaris PT Cahaya Mas Perkara So Kok Seng alias Aseng, Komisaris PT Papua Putra Mandiri Henock Setiawan alias Rino yang memberikan masing-masing Rp500 juta untuk "dana satu pintu", sedangkan Direktur CV Putra Mandiri Charles Fransz alias Carlos memberikan Rp600 juta sehingga terkumpul Rp2,6 miliar.

Uang disetor ke rekening bank atas nama Erwantoro sedangkan kekurangan uang akan diminta ke rekanan lain tapi ternyata tidak ada rekanan lain yang mau memberikan uang tambahan untuk melengkapi Rp3 miliar.

Uang lalu diserahkan Abdul Khoir kepada Amran Hi Mustary melalui Imran S Djumadil pada 22 Agustus 2015.

Ketiga, pemberian uang Rp1 miliar kepada Damayanti Wisnu Putranti selaku anggota Komisi V DPR RI untuk keperluan bantuan kampanye pemilihan Kepala Daerah di Jawa Tengah yang dilakukan dengan cara masing-masing akan memberikan uang sejumlah Rp330 juta yang dibayarkan lebih dulu menggunakan uang terdakwa.

Hong Arta lalu mengirimkan uang Rp1 miliar ke rekening Erwantoro pada 26 November 2015. Setelah uang masuk, Abdul Khoir lalu meminta Erwantoro menukar uang itu menjadi dolar AS.

Baca juga: KPK dalami aliran uang ke pihak lain kasus proyek di Kementerian PUPR

Erwantoro kemudian menyerahkannya ke Damayanti melalui teman Damayanti, Dessy A Edwin, di depan lobi Direktorat Jenderal Sumber Daya Alam Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Ditjen SDA-PUPR).

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020