Jakarta (ANTARA News) - Di tengah upaya beberapa negara membujuk Korea Utara agar bersedia kembali ke meja perundingan enam negara, yang membahas program nuklirnya, semenanjung Korea kembali tegang setelah tim penyelidik multinasional menyimpulkan, kapal perang Angkatan Laut Korea Selatan, Cheonan, tenggelam karena ditorpedo Korea Utara.

Tim penyelidik yang berasal dari beberapa negara menyimpulkan, kapal selam Korea Utara telah menembakkan sebuah torpedo yang membuat kapal itu terbelah dua dan tenggelam di perbatasan Laut Kuning pada 26 Maret, yang menewaskan 46 pelaut Korea Selatan.

Menlu Korea Selatan, Yu Myung-Hwan, pekan ini mengatakan, Korea Utara jelas terlibat dalam tenggelamnya salah satu kapal perang Korea Selatan, dan ada cukup bukti untuk membawa kasus itu ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB).

Korea Selatan berikrar akan mengambil "tindakan tegas" jika Korea Utara yang dipersalahkan atas tenggelamnya kapal itu.

Analisis kepingan metal dan bekas ledakan yang ditemukan di korvet berbobot 1.200 ton, serta serpihan yang ditemukan di dasar laut menjadi bukti kuat bahwa pada saat itu terjadi serangan torpedo Korea Utara, menurut Kantor Berita Korea Selatan, Yonhap, mengutip sumber militer.

Bekas peledak itu memiliki kesamaan dengan kimia yang ditemukan pada torpedo Korea Utara yang dilacak Korea Selatan tujuh tahun lalu, yang diduga buatan China atau Rusia.

Presiden Korea Selatan, Lee Myung-Bak, akhir pekan lalu mengecam, penenggelaman kapal perangnya adalah pelanggaran gencatan senjata yang mengakhiri Perang Korea (1950-1953).

"Ini adalah provokasi bersenjata yang merupakan pelanggaran Piagam PBB, perjanjian gencatan senjata, dan kesepakatan kerangka kerjasama antar-Korea," kata Lee.

Lee menganggap insiden itu demikian serius dan gawat, yang membuat pihaknya harus sangat berhati-hati dan bijaksana dalam bertindak.

Lee akan mengumumkan hukuman terhadap Korea Utara dalam pidato televisi pada awal pekan depan. Namun, diduga Seoul mengesampingkan serangan balasan militer untuk menghindari perang habis-habisan, dan tampaknya akan minta Dewan Keamanan PBB untuk memberikan sanksi ketat kepada negara tetangganya itu.

Ancam Perang
Tetapi, Korea Utara membantah bahwa kapal selamnya telah menenggelamkan kapal perang Korea Selatan itu, dan pemperingatkan "perang skala penuh" jika sanksi-sanksi baru dijatuhkan oleh Dewan Keamanan.

Komisi Pertahanan Nasional Korea Utara (NDC) dalam pernyataannya menegaskan, pihaknya akan mengirim tim penyelidik ke Seoul untuk memeriksa barang bukti, yang menurut mereka diduga palsu.

Korea Utara juga mengingatkan, pihaknya akan memutus pakta non-agresi, suatu landasan perjanjian kerangka kerja sama antar-Korea, dan membekukan semua hubungan antar-Korea jika Seoul berusaha menghukumnya berkaitan dengan tenggelamnya kapal itu.

Secara teknis, kedua Korea masih dalam perang karena Perang Korea yang melibatkan China dan pasukan PBB yang dipimpin AS, berakhir dengan gencatan senjata pada 1953, dan perjanjian perdamaian hingga kini belum juga ditandatangani.

Presiden AS Barack Obama berikrar akan membantu Korea Selatan mempertahankan diri terhadap setiap "aksi agresi.

Gedung Putih juga mendukung Seoul dalam tuduhannya bahwa Korea Utara menenggelamkan Cheonan, salah satu kapal perangnya.

Tindakan Korea Utara dinilai hanya akan memperdalam pengucilan terhadap negara itu.

Dalam pembicaraan melalui telepon dengan Presiden Korsel, Obama menegaskan bahwa AS mendukung penuh Republik Korea, baik dalam usaha untuk menjamin keadilan bagi 46 pelautnya yang tewas dalam serangan itu maupun dalam pertahanannya menghadapi aksi-aksi serangan lebih jauh.

Pernyataan itu dikleuarkan, karena upaya Obama melakukan pendekatan melalui jalur diplomatik dengan Korut, yang memiliki senjata nuklir, menemui hambatan.

Sementara itu PM Jepang, Yukio Hatoyama, menandaskan, penenggelaman kapal AL Korea Selatan oleh Korea Utara `tak bisa dimaafkan`.

"Negara kami mendukung kuat Korea Selatan," katanya dalam pernyataan yang dibacakan oleh kepala juru bicaranya, Hirofumi Hirano.

"Tindakan Korea Utara tak bisa dimaafkan dan kami mengecam keras hal itu, bersama masyarakat internasional," tegasnya.

Namun China, yang memiliki peran sangat penting dalam perundingan enam negara yang lama macet untuk mengekang program senjata nuklir Korut, adalah satu-satunya sekutu penting Korea Utara dan tampaknya enggan menghukum Pyongyang, karena khawatir menimbulkan ketidak stabilan di perbatasan kedua egara.

Dampak Ekonomi
Kalangan pengamat berpendapat, jika sanksi-sanksi lanjutan dikenakan lagi oleh DK PBB, ekonomi Korea Utara yang rapuh dikhawatirkan akan ambruk.

Badan Promosi Perdagangan-Penanaman Modal Korea (KOTRA), milik negara, mengatakan, sanksi yang akan dijatuhkan berkaitan dengan kegiatan nuklir, rudal balistik dan Cheonan bisa berdampak menghancurkan ekonomi Korea Utara, yang perdagangan luar negerinya turun 10 persen pada 2009 dari tahun sebelumnya.

KOTRA berpendapat, perdagangan Korea Utara, termasuk niaganya dengan Korea Selatan, merosot 9,7 persen menjadi 5,09 miliar dolar AS pada tahun lalu dari 2008.

Di luar perdagangan dengan Korea Selatan, perdagangan luar negeri mereka turun 10,5 persen menjadi 3,41 miliar dolar AS pada tahun lalu.

Dalam perdagangan dengan China saja, yang merupakan mitra terbesar Korea Utara, kini mencapai 2,7 miliar dolar AS.

Karena itu, prospek sanksi lanjutan sebagai akibat tenggelamnya kapal perang Korea Selatan yang dicurigai ditorpedo Pyongyang, akan menimbulkan kemerosotan perdagangan lebih parah pada negara itu.

Apalagi selama ini, kesulitan ekonomi Korea Utara banyak ditopang oleh Korea Selatan dan China.(H-AK/A038)

Oleh Askan Krisna
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010