Surabaya (ANTARA News) - Pertandingan final Copa Indonesia musim 2008/2009 yang mempertemukan Sriwijaya FC dengan Persipura Jayapura, ternoda dan tidak bisa dilanjutkan karena terjadinya pemogokan pemain.

Tim Persipura Jayapura melakukan aksi mogok karena merasa tidak puas dengan keputusan wasit Purwanto yang memberikan hadiah penalti kepada Sriwijaya FC.

Adalah Ernest Jeremiah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya aksi mogok tersebut. Pemain asal Brasil itu mengajak rekan-rekannya untuk tidak melanjutkan pertandingan final itu.

Kasus pemogokan itu seakan menampar muka PSSI dan Badan Liga Indonesia. Dji Sam Soe selaku sponsor utama turnamen Copa Indonesia, tak luput mengalami kerugian besar atas aksi tersebut.

PSSI tidak tinggal diam melihat kasus memalukan itu. Komisi Disiplin PSSI memberikan hukuman berat kepada Ernest Jeremiah yang dianggap sebagai provokator. Dia akhirnya dihukum larangan bermain di semua level kompetisi di Indonesia.

"Dia `kan pemain asing, seharusnya memberikan contoh yang baik kepada pemain lokal. Tindakan Ernest sudah jelas melecehkan kinerja perangkat pertandingan dan menyulut emosi pemain serta ofisial Persipura," kata Wakil Ketua Komdis PSSI Bernard Limbong pada pertengahan 2009 silam.

Aksi tidak sportif yang dilakukan Ernest Jeremiah merupakan salah satu dari banyak kasus ketidakberesan di kompetisi sepak bola nasional yang melibatkan pemain asing.

Kasus paling menarik dan menjadi buah bibir publik bola Tanah Air adalah diseretnya pemain asal Liberia Bernard Mamadou ke Pengadilan Negeri Solo.

"Defender" Gresik United itu terlibat perkelahian dengan pemain Persis Solo Nova Zaenal yang juga ikut diadili.

Dalam persidangan terakhir pada awal Maret 2010, Mamadou divonis hukuman penjara tiga bulan oleh majelis hakim dengan masa percobaan enam bulan.

Kasus pengadilan pemain itu sempat disesalkan pengurus PSSI dan BLI, karena semestinya masalah yang melibatkan pemain di dalam lapangan menjadi ranah Komdis untuk menjatuhkan hukuman.

Namun, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah Irjen Pol Alex Bambang Riatmodjo punya pandangan berbeda. Bambang tidak ingin pertandingan sepak bola yang berlangsung di wilayahnya diwarnai kerusuhan.

Kehadiran pemain asing di kompetisi Liga Indonesia, sejatinya bertujuan meningkatkan kualitas pertandingan dan kemampuan pemain lokal agar menjadi lebih baik.

Kiprah pemain asing di persepakbolaan nasional, sudah dimulai sejak era kompetisi Liga Sepak Bola Utama (Galatama) pertengahan tahun 1980-an.

Saat itu, klub ternama asal Surabaya Niac Mitra mendatangkan dua pemain Singapura, Fandi Ahmad (striker) dan David Lee (kiper). Kemudian Pardedetex Medan mengimpor Jairo Matos (Brazil) dan Ulrich Wilson (Jerman Barat).

Masuknya legiun asing tersebut berdampak terhadap animo penonton untuk datang ke stadion, selain kualitas kompetisi yang sedikit lebih kompetitif.

Namun, kiprah mereka tidak berlangsung lama setelah PSSI mengeluarkan kebijakan larangan klub Galatama diperkuat pemain asing.

Larangan itu berjalan hingga satu dasawarsa sampai kemudian PSSI membuka kembali kran pemain asing, ketika kompetisi Perserikatan dan Galatama dilebur menjadi Liga Indonesia pada 1994.

Saat itu, banyak mantan pemain top dunia yang berkiprah di Indonesia. Sebut saja Mario Kempes (Argentina), Roger Milla dan Maboang Kessack (keduanya dari Kamerun). Ketiga pemain itu didatangkan Pelita Jaya Jakarta.

Klub-klub peserta Liga Indonesia lainnya juga mengimpor pemain asing, seperti Petrokimia Putra Gresik yang mengontrak Jacksen Ferreira Tiago dan Carlos De Mello (Brasil) serta Darryl Sinerine (Trinidad & Tobago).

Kemudian Gelora Dewata Bali diperkuat dua pemain asal Angola, Vata Matanu Garcia dan Abel Campos.

Selain memberi daya tarik bagi penonton, kehadiran pemain asing membuat kualitas kompetisi sedikit terangkat dan memberi persaingan positif bagi pemain lokal.

Selama delapan musim kompetisi Liga Indonesia (1994/1995 hingga 2003), PSSI membatasi pemain asing di setiap klub Divisi Utama hanya tiga orang. Kemudian menjadi empat orang pada kompetisi musim 2004 dan sejak 2005 hingga sekarang, kuotanya ditambah menjadi lima orang.

Pada awalnya, dampak penambahan kuota itu tidak dirasakan klub-klub, namun kemudian menjadi beban manakala harga pemain asing makin tidak terkontrol dan gila-gilaan.

Masalah itu masih ditambah dengan kualitas sebagian pemain asing yang didatangkan agen jauh dari standar yang diharapkan.

Hanya klub-klub "kaya" yang mampu mengontrak pemain asing dengan kualitas bagus, sementara klub yang keuangannya pas-pasan dipaksa menerima pemain asing berstandar lokal.

Pemain asing yang berlaga di Liga Super Indonesia, nilai kontraknya paling murah sekitar Rp600 juta. Bahkan ada beberapa pemain asing yang kontraknya lebih dari Rp1 miliar.

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah pelatih dan pengelola klub Liga Indonesia mulai berteriak kepada PSSI dan BLI untuk mengurangi kuota pemain asing. Selain itu, mereka juga menuntut standardisasi harga pemain agar tidak membebani keuangan klub.

Apalagi, pemerintah mulai melakukan pengetatan dan larangan penggunaan dana APBD untuk pembiayaan klub sepak bola profesional.

"Harga pemain asing yang masuk ke Indonesia sudah gila-gilaan, sementara kualitasnya bisa dibilang pas-pasan dan tidak lebih baik dari pemain lokal. Bahkan ada beberapa pemain asing yang mental dan perilakuknya sangat buruk," kata Manajer Persebaya Saleh Ismail Mukadar.

Ia menyebut kasus indisipliner yang sering dilakukan pemain asing dan merugikan klub Persebaya. Beberapa klub lain juga pernah mengalami hal serupa.

"Lebih baik tidak usah pakai pemain asing, daripada sepak bola kita menjadi rusak. Sekarang saja, kita sudah kesulitan mendapatkan pemain lokal bagus, sehingga tidak salah kalau prestasi timnas terus terpuruk," tambah Saleh.

Namun, PSSI punya kebijakan tersendiri, karena semakin banyak pemain asing yang masuk dan berlaga di Indonesia, semakin besar pemasukan yang diperoleh.

Dari kehadiran pemain asing itu, PSSI mendapatkan "fee agent" sekitar Rp10 juta per pemain. Artinya, semakin banyak pemain asing yang masuk ke Indonesia, semakin besar pendapatan yang diperoleh PSSI.

"Setiap pemain asing baru yang masuk, wajib membayar administrasi ke PSSI," kata salah satu pemain asing dari Mutiara Hitam Sport and Management Dennis Jules Onana.

Di kompetisi Liga Super Indonesia saja, lebih dari 100 pemain asing yang tersebar di 18 klub. Setiap klub mendapat kuota lima pemain asing dan bisa diganti pada pertengahan musim.

Jumlah yang hampir sama juga berada di kompetisi Divisi Utama yang diikuti 33 klub, dimana masing-masing klub mendapat jatah mengontrak tiga pemain asing. Harga pemain asing di kompetisi level dua ini lebih murah, begitu juga fee yang harus dibayarkan ke PSSI.

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, materi tim nasional senior tidak banyak mengalami perubahan. Bakat-bakat baru yang diharapkan bermunculan dari kompetisi, tidak terlihat dan tenggelam oleh membanjirnya pemain impor.

Penyerang Persija Jakarta Bambang Pamungkas menjadi salah satu pemain yang posisinya tidak pernah tergantikan di timnas dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir.

Nama lain yang menjadi langganan timnas senior adalah Ponaryo Astaman, Syamsul Bachri Chaerudin, Budi Sudarsono, dan Charis Yulianto.

Mantan pelatih Timnas Benny Dollo sempat mengalami kesulitan mencari pemain muka baru yang punya kualitas mumpuni, untuk penyegaran timnas.

"Bagaimana kita bisa dapat striker bagus, kalau posisi itu sudah dikuasai pemain asing di semua klub. Begitu juga posisi gelandang atau `playmaker`. Ini masalah besar buat sepak bola kita," katanya saat memimpin timnas berlatih di Surabaya beberapa waktu lalu.

Senada dengan Saleh Mukadar, Benny Dollo setuju ada kebijakan untuk mengurangi kuota pemain asing yang berlaga di kompetisi nasional, sehingga pemain lokal punya banyak kesempatan berlaga.

Sejumlah mantan pemain nasional, seperti Fachri Husaini, Ricky Yacobi dan Widodo Cahyono Putro juga mengkritisi kebijakan kuota pemain asing saat ini sebagai salah satu penghambat prestasi sepak bola nasional.

"Regenerasi pemain harus dipikirkan oleh PSSI, karena kehadiran pemain asing bisa menjadi salah satu penghambat proses tersebut," kata Widodo.

Ketika larangan pemain asing dijalankan pada akhir 1980-an hingga pertengahan 1990-an, lanjut Widodo, PSSI memiliki banyak pilihan untuk menemukan pemain lokal berkualitas dalam pembentukan timnas.
(T.D010/T010/P003)

Oleh Oleh Didik Kusbiantoro
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010