Makassar (ANTARA News) - Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Syaiful Bahri Anshori mengatakan, dalam tradisi NU, rais aam atau pemimpin tertinggi dipilih langsung oleh peserta muktamar, demikian juga ketua umum PBNU.

"Karena itu, tidak benar jika ada yang mengatakan pemilihan langsung rais aam itu menyalahi tradisi, seperti yang diungkapkan Gus Mus (KH Mustofa Bisri, Red)," kata Syaiful kepada wartawan di Muktamar NU ke-32 di Asrama Haji Sudiang, Makassar, Jumat.

Dikatakannya, pada Muktamar NU ke-31 Donohudan, Boyolali, tahun 2004, KH Sahal Mahfudh terpilih sebagai rais aam setelah mengalahkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui pemilihan langsung.

"Saat itu muncul dua calon, yaitu Mbah Sahal dan Gus Dur. Mbah Sahal yang terpilih, Mbah Sahal ungguli Gus Dur. Jadi, kalau sekarang ada yang mengusulkan ahlul halli wal aqdi (formatur, Red) tidak tepat," katanya.

Syaiful mencontohkan lagi muktamar NU tahun 1962. Saat itu KH Wahab Chasbullah terpilih sebagai rais aam setelah perolehan suaranya mengungguli KH Bisri Syansuri.

Dikatakannya, sistem ahlul halli wal aqdi dalam memilih rais aam memang pernah diterapkan, yakni pada muktamar ke-28 di Situbondo, Jawa Timur, pada 1984.

Sistem itu digunakan karena saat itu terjadi kondisi darurat dalam muktamar, yakni pertentangan tajam antarkiai dan ditolaknya laporan pertanggungjawaban (LPJ) ketua umum PBNU KH Idham Cholid oleh peserta muktamar.

"Situasi muktamar kali normal-normal saja, tak ada unsur darurat sama sekali, LPJ juga diterima. Jadi, pemilihan rais aam tetap dilakukan secara langsung oleh peserta," kata mantan Ketua Umum PB PMII itu.

Sebelumnya, KH Mustofa Bisri (Gus Mus) mengatakan pemilihan rais aam secara langsung menyalahi tradisi NU. Gus Mus mengusulkan rais aam dipilih oleh sejumlah ulama yang ditunjuk sebagai ahlul halli wal aqdi.
(S024/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010