Garut (ANTARA News) - Dari 344 kepala keluarga (KK) atau 2.510 korban tanah longsor dan banjir lumpur dari enam kampung pada tiga desa di kecamatan Samarang Garut, terdapat 156 diantaranya mengalami gangguan jiwa di lokasi pengungsian.

Bahkan serangan penyakit "ansietas" maupun stres dan kecemasan yang berlebihan tersebut, mengakibatkan tiga ibu hamil melahirkan sebelum waktunya, kehamilan mereka rata-rata berusia delapan bulan namun ketiga ibu dan bayinya kini beranjak sehat, ungkap Kepala Puskesmas desa Sukakarya, Nurjaman, M.Si, Minggu.

Dua ibu diantaranya melahirkan di Puskesmas Sukakarya, namun seorang lagi terpaksa di rujuk ke RSU dr Slamet Garut, akibat sempat mengalami pendarahan berat.

Sedangkan penyebabnya, antara lain masih dihantui terjadinya bencana alam susulan, memikirkan 15 rumah beserta harta bendanya musnah terkubur jutaan kubik lumpur dan lahar dingin dari gunungapi Guntur, serta kehilangan harapan atau motivasi semangat hidup.

Sehingga selain menjalani pengobatan medis, juga kerap dilakukan advokasi maupun pendampingan, agar bisa memulihkan kondisi psikologis mereka, katanya.

Seluruh jajaran Puskesmas Sukakarya, pasca pelaksanakan tanggap darurat yang berlangsung selama 14 hari, akan menyelenggarakan pemutaran film penerangan dan penyuluhan tentang psikologis, yang diharapkan bisa menghibur serta memulihkan warga korban bencana yang masih terguncang kejiwaannya.

Mereka merasa sangat terpukul, karena berbagai jenis harta kekayaan yang diperoleh dengan kerja keras selama belasan tahun, bisa musnah dalam waktu sekejap, ujar Nurjaman.

Sementara itu, seorang pengungsi di lokasi tenda darurat kampung Tengah, Aep(29) saat ditemui ANTARA mengesankan pembicaraannya tidak fokus, pandangan matanya lemah dan lebih banyak memerhatikan tiga ekor kambing beserta lima ekor unggas mentok yang berhasil diselamatkannya.

Dia mengaku tenda plastik warna birunya, merupakan milik pribadi yang terpaksa didirikan di atas bukit bersama dua KK pengungsi lainnya, sehingga seluruhnya berjumlah 14 pengungsi yang setiap malam sangat gelap gulita akibat tidak dialiri jaringan listrik seperti tenda pengungsi di lokasi lainnya.

"Saya sulit tidur akibat selalu terbayang gemuruh saat air bah bersama jutaan kubik lumpur pasir dan lahar dingin dari gunung api Guntur, menyapu rumah perkampungan," katanya. (Ant/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010