Ambon (ANTARA News) - Ratusan Kepala Keluarga (KK) Transmigran nasional asal Pulau Jawa yang bermukim di Kabupaten Buru, Maluku, banyak yang memiliki sertifikat tanpa disertai lahan garapan akibat diklaim masyarakat adat setempat selaku pemilik tanah.

"Para transmigran di Kabupaten Buru mengeluh akibat tidak memiliki lahan satu untuk persawahan dan lahan dua untuk perkebunan, meskipun mereka mengantongi sertifikat resmi dari Badan Pertanahan Nasional," kata anggota komisi A DPRD Maluku, Ny. Sugeng di Ambon, Selasa.

Dalam rapat dengar pendapat yang dipimpin Ketua komisi A, Richard Rahakbauw, bersama Disnakertrans Maluku, Ny. Sugeng menjelaskan, tanah-tanah transmigran yang sudah bersertifikat di daerah tersebut jadi bermasalah akibat sikap masyarakat adat Buru yang mengklaimnya sebagai milik mereka.

Menurut dia, dataran Waeapo yang didengungkan selama ini sebagai "Lumbung Pangan Maluku" ternyata membawa derita bagi petani transmigran.

"Ketika mereka hendak menggarap tanah sendiri, petani diwajibkan membayar pajak Rp200.000 per hektare, kemudian saat panen para petani transmigran ini harus memberikan upeti kepada masyarakat adat yang mengklaim bahwa lokasi sawah itu adalah tanah mereka," katanya.

Persoalan ini sudah mencuat sejak beberapa tahun lalu, misalnya petani desa Parbulu ada 16 Ha tanah bersertifikat milik masyarakat transmigrasi yang diklaim sebagai tanah milik adat, sehingga saat petani mau menggarapnya sebagai lahan sawah timbul sengketa dan petani terpaksa mengalah.

Kondisi yang sama juga dihadapi petani transmigran asal Pulau Jawa yang menetap di desa Grandeng, Waygeren dan Waykerta, Pulau Buru yang sudah ada sertifikat tapi lahannya tidak ada.

Sekarang Nakertrans mengajukan pembuatan sertifikat bagi petani transmigran di Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Kubalahen, Wanfaet dan UPT Keramat, tapi UPT Weislan dan Waileman yang belum tersentuh.

"Beberapa tahun lalu Pemprov berniat menyerahkan UPT Waeplan dan UPT Wanfaet tapi Pemkab Buru tidak mau akibat masih terbentur persoalan tanah karena saat itu transmigran hanya memiliki lahan dua seluas 1 Ha tanpa mendapatkan lahan satu seluas 1 Ha untuk persawahan, dan anehnya sekarang ini lahan itu pun sudah diklaim masyarakat adat," katanya.

Plt Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Maluku, Jeremia Uweubun mengatakan, pihaknya sudah melakukan kesepakatan dengan Komisi A DPRD Maluku untuk sama-sama melakukan pengecekan ke lapangan.

"Tapi perlu diingat secara prosedural, persoalan ini bukanlah suatu hal yang tidak mungkin sebab sesuai aturannya saat perencanaan, lahan transmigran sudah diperhitungkan sesuai kebutuhan, artinya luas areal yang disiapkan untuk 200 KK tidak mungkin ditempatkan 400 KK transmigran," katanya.

Sebab lahan transmigran tersebut biasanya ada sebagian yang disiapkan untuk membangun fasilitas umum atau jalur hijau dan tidak seluruhnya menjadi milik transmigran melalui sertifikasi.

Namun di lapangan kalau ada temuan seperti ini, kemungkinan ada oknum staf Disnakertrans yang nakal saat pembukaan lahan sehingga terjadi persoalan seperti ini. (D008/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010